Internasional

Mengevaluasi Setahun Kedua Donald Trump: Kebijakan Kontroversial yang Mengguncang Domestik dan Global

Advertisement

Sejak kembali dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, Donald Trump langsung menggulirkan serangkaian kebijakan kontroversial yang memicu gejolak di dalam negeri dan ketegangan global. Selama satu tahun terakhir, pendekatan proteksionis dalam perdagangan, perombakan birokrasi federal, hingga campur tangan agresif dalam konflik internasional menjadi sorotan utama.

Perang Tarif Global dan Dampaknya ke Indonesia-China

Trump menetapkan status darurat nasional terkait defisit perdagangan AS dan memberlakukan tarif impor baru berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional. AS mengenakan tarif dasar 10% ke hampir seluruh negara, disertai tarif tambahan ke mitra dagang tertentu, menandai pendekatan dagang AS yang semakin proteksionis. Kebijakan ini memicu eskalasi perang dagang global, meskipun Washington kemudian membuka jalur negosiasi dengan sejumlah mitra utama seperti Inggris, Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Tarif Trump Terhadap Indonesia

Indonesia sempat masuk daftar negara yang terancam tarif tinggi hingga 32%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, AS menangguhkan kebijakan tersebut selama 90 hari untuk membuka ruang negosiasi. Hasilnya, pada Juli 2025, tarif impor AS terhadap produk Indonesia disepakati turun menjadi 19%. Negosiasi lanjutan masih berlangsung hingga akhir tahun, dengan rencana penandatanganan perjanjian dagang lanjutan pada awal 2026.

Perubahan Tarif Terhadap China

Terhadap China, Trump menaikkan tarif impor hingga 104% pada April, lalu kembali meningkat menjadi 125% menyusul langkah balasan Beijing. Ketegangan mereda di paruh kedua tahun setelah kedua negara menyepakati gencatan senjata dagang. AS juga menunda pemberlakuan tarif tambahan atas semikonduktor China hingga Juni 2027, dengan tarif nol selama 18 bulan sebelum diterapkan bertahap.

Gelombang PHK Massal dan Pembubaran Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE)

Trump merealisasikan agenda perampingan negara dengan membentuk Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) dan menunjuk Elon Musk sebagai pemimpinnya. Lembaga ini diberi mandat memangkas pemborosan anggaran dan mengevaluasi ulang seluruh birokrasi federal. Langkah tersebut berujung pada gelombang PHK besar-besaran di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Departemen Pendidikan serta Departemen Kesehatan.

Ribuan pegawai kehilangan pekerjaan, menciptakan ketidakpastian luas di lingkungan aparatur sipil negara. Menjelang akhir masa tugasnya, DOGE mengklaim berhasil menghemat US$175 miliar atau sekitar Rp2.922 triliun. Namun, data ketenagakerjaan menunjukkan sektor pemerintah menjadi penyumbang PHK terbesar 2025, dengan lebih dari 290.000 pegawai terdampak. Trump juga mengakhiri skema kerja jarak jauh dan mewajibkan pegawai federal kembali ke kantor.

Pengerahan Garda Nasional dan Operasi Imigrasi Kontroversial

Trump memperluas penggunaan kekuatan federal dalam merespons isu keamanan dan imigrasi. Pada Juni, ia mengerahkan Garda Nasional ke Los Angeles untuk meredam protes anti-ICE (Badan Imigrasi dan Bea Cukai) tanpa persetujuan pemerintah negara bagian. Langkah serupa dilakukan di Washington, D.C., serta diancamkan ke sejumlah kota besar lain yang dipimpin Demokrat. Kebijakan ini memicu perdebatan hukum terkait batas kewenangan presiden atas pemerintah daerah.

Di sisi lain, operasi agresif ICE menuai sorotan tajam setelah laporan mengungkap warga negara AS ikut ditahan dalam penggerebekan imigrasi. Laporan ProPublica pada Oktober mencatat lebih dari 170 kasus sepanjang tahun ini di mana warga negara AS ikut ditahan dalam penggerebekan dan aksi penegakan imigrasi, termasuk sekitar 20 orang yang dilaporkan ditahan lebih dari satu hari tanpa akses ke keluarga atau pengacara. Sejumlah kasus dugaan kekerasan dan penahanan tanpa prosedur hukum memperkuat kritik bahwa kebijakan Trump berpotensi melanggar hak sipil.

Penutupan Pemerintahan AS Terlama dalam Sejarah

Pemerintahan Trump mencatat penutupan pemerintahan AS terlama dalam sejarah selama 43 hari akibat kebuntuan anggaran di Kongres. Krisis ini terjadi meskipun Partai Republik menguasai DPR dan Senat. Shutdown berdampak luas, mulai dari tertundanya gaji sekitar 1,4 juta pegawai federal hingga terganggunya layanan publik dan bantuan sosial. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$15 miliar per pekan.

Krisis berakhir setelah RUU pendanaan disahkan, namun tidak mencakup perpanjangan subsidi asuransi kesehatan bagi sekitar 24 juta warga. Isu tersebut tetap menjadi sumber ketegangan politik lanjutan. Meskipun menjadi yang terpanjang, penutupan pemerintahan bukan hal baru dalam politik AS. Pada era Presiden Ronald Reagan, tercatat delapan kali penutupan pemerintahan pada 1980-an. Sementara itu, Presiden Bill Clinton menghadapi penutupan selama 21 hari pada 1995 dan Presiden Barack Obama selama 16 hari pada 2013, menegaskan bahwa kebuntuan anggaran telah berulang kali mewarnai sejarah politik AS.

Peran Agresif Trump di Timur Tengah dan Visi “Riviera Gaza”

Trump mulai memainkan peran lebih agresif di Timur Tengah pada masa jabatan keduanya. Pada Oktober 2025, ia mencatat salah satu capaian diplomatik terbesarnya dengan memediasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas, mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir dua tahun sejak Oktober 2023. Kesepakatan tersebut mencakup pemulangan seluruh sandera yang ditahan Hamas ke Israel serta penarikan sebagian pasukan militer Israel dari Jalur Gaza. Meskipun situasi keamanan tetap rapuh, langkah ini dipandang sebagai terobosan penting yang memperkuat posisi Trump sebagai mediator utama konflik Timur Tengah.

Advertisement

Keberhasilan gencatan senjata itu menjadi pijakan bagi Trump untuk mendorong agenda lanjutan di Gaza. Pemerintah AS mengusulkan agar wilayah tersebut untuk sementara dikelola oleh sebuah komite internasional di bawah pengawasan Washington, dengan alasan stabilitas keamanan dan percepatan rekonstruksi pascaperang. Dalam kerangka rencana tersebut, Trump secara terbuka menyampaikan visinya untuk mengubah Gaza menjadi kawasan ekonomi dan pariwisata baru yang ia sebut sebagai “riviera Timur Tengah.” Ia menilai wilayah pesisir Gaza memiliki potensi besar jika didukung investasi internasional dan tata kelola baru.

Rencana ini mencakup pembentukan Dewan Perdamaian internasional, pengerahan pasukan stabilisasi, serta masuknya modal asing untuk membangun infrastruktur, pelabuhan, dan sektor pariwisata. Namun, gagasan tersebut menuai kritik luas karena dinilai mengabaikan aspek kedaulatan Palestina dan berisiko memicu ketegangan baru di kawasan.

Boikot KTT G20 di Afrika Selatan

Trump memutuskan memboikot KTT G20 di Afrika Selatan di tengah memanasnya hubungan bilateral kedua negara. Ia menuding Pretoria melakukan diskriminasi terhadap minoritas kulit putih Afrikaner, klaim yang dibantah keras pemerintah Afrika Selatan. Ketegangan juga dipicu oleh langkah Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atas dugaan genosida di Gaza, yang memicu kemarahan Washington. Keputusan Trump tidak mengirim delegasi ke G20 menandai sikap konfrontatif AS, meskipun Washington dijadwalkan mengambil alih presidensi G20 pada akhir tahun.

Rencana Sepihak Pencaplokan Greenland

Trump kembali memicu kontroversi dengan menyatakan Greenland penting bagi keamanan nasional AS. Ia menunjuk utusan khusus untuk wilayah tersebut, memicu protes Denmark dan otoritas Greenland. Trump berdalih kepentingan AS di Greenland bersifat strategis, terutama terkait aktivitas Rusia dan China di kawasan Arktik. Ia menegaskan ketertarikan itu bukan didorong sumber daya alam. Denmark dan Greenland menolak keras gagasan pencaplokan. Pemerintah Greenland menegaskan terbuka pada kerja sama keamanan, tetapi menolak segala bentuk pengalihan kedaulatan.

Campur Tangan AS dalam Konflik Thailand-Kamboja

Campur tangan Trump dalam konflik perbatasan Thailand-Kamboja menuai sorotan, setelah Bangkok menilai gencatan senjata yang dimediasi sebelumnya dibuat terburu-buru di bawah tekanan Washington. Konflik dua negara tetangga Indonesia itu telah menewaskan setidaknya 41 orang dan memicu pengungsian besar-besaran di kawasan perbatasan.

Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow menyebut, “kesepakatan gencatan senjata Oktober lalu disusun cepat agar dapat ditandatangani sebelum kunjungan Trump.” Menurutnya, tekanan AS membuat kesepakatan lebih berorientasi pada kepentingan diplomatik Trump ketimbang penyelesaian teknis di lapangan. Trump mendorong gencatan senjata tersebut melalui jalur diplomasi yang dimediasi Malaysia, sembari mengancam akan menahan fasilitas perdagangan AS jika kedua negara tidak menyetujui kesepakatan. Departemen Luar Negeri AS bahkan secara terbuka mendesak Thailand dan Kamboja menghentikan permusuhan, menarik senjata berat, dan menghapus ranjau darat sesuai Perjanjian Perdamaian Kuala Lumpur.

Namun, minimnya detail teknis membuat gencatan senjata gagal bertahan. Thailand menuding Kamboja melanggar kesepakatan, sementara Phnom Penh menuduh Bangkok melanjutkan serangan udara usai pertemuan ASEAN. Sengketa ranjau darat kembali menjadi titik panas, menegaskan bahwa tekanan politik dari Washington belum mampu meredakan konflik secara berkelanjutan pada dua tetangga RI tersebut.

Eskalasi Tekanan Militer AS terhadap Venezuela

Trump meningkatkan eskalasi tekanan terhadap Venezuela dengan langkah keras yang dinilai sebagai awal konfrontasi terbuka. Washington kini tak hanya mengandalkan sanksi ekonomi, tetapi juga kekuatan militer untuk menekan pemerintahan Presiden Nicolás Maduro. Pada 16 Desember, Trump memerintahkan blokade angkatan laut terhadap kapal tanker minyak yang dikenai sanksi keluar-masuk Venezuela. Militer AS dilaporkan menyita dua kapal tanker di lepas pantai negara itu, sementara kapal perang dikerahkan dalam jarak serang.

Operasi laut ini dimulai setelah Trump menyalahkan Maduro atas krisis migran Venezuela di AS, menyebut ratusan ribu warga negara itu masuk ke Amerika Serikat. Migrasi besar-besaran ini merupakan bagian dari hampir delapan juta warga Venezuela yang meninggalkan negaranya sejak 2013 akibat krisis ekonomi dan represi politik. Isu narkoba menjadi senjata utama Trump. Pemerintah AS menetapkan Tren de Aragua dan Cartel de los Soles sebagai Organisasi Teroris Asing, bahkan menuding Maduro memimpin jaringan kartel tersebut. Trump juga menuduh pemerintah Venezuela menggunakan minyak “curian” untuk mendanai kejahatan lintas negara.

Pemerintah Venezuela membantah tuduhan itu dan menilai langkah AS sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan negara serta upaya menguasai cadangan minyaknya. Sejumlah analis menilai eskalasi ini telah melampaui tekanan diplomatik, dan dapat menandai babak baru konflik AS-Venezuela yang berpotensi semakin memanas.

Advertisement
Mureks