Nilai tukar rupiah dibuka menguat tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi Senin, 22 Desember 2025. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah berada di posisi Rp16.725 per dolar AS, terapresiasi sebesar 0,06%.
Penguatan ini terjadi setelah pada perdagangan terakhir Jumat, 19 Desember 2025, rupiah sempat melemah 0,15% di level Rp16.735 per dolar AS, menembus level psikologis Rp16.700 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) terpantau menguat 0,05% ke level 98,652 pada pukul 09.00 WIB, melanjutkan tren penguatan selama tiga hari beruntun sejak 17 Desember 2025.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Menguatnya dolar AS mengindikasikan peningkatan permintaan terhadap aset berdenominasi dolar, yang berpotensi memicu kembalinya arus modal ke Amerika Serikat. Kondisi ini dapat mendorong pelepasan aset berisiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang pada akhirnya dapat menekan nilai tukar rupiah.
BRIN Proyeksikan Rupiah Melemah Hingga Rp17.098 pada 2026
Di tengah dinamika pasar tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan proyeksi mengenai pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS untuk tahun-tahun mendatang. BRIN memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.678 hingga Rp17.098 per dolar AS pada tahun 2026.
Proyeksi ini menunjukkan pelemahan dibandingkan perkiraan BRIN untuk sepanjang tahun 2025, yang berada di rentang Rp16.150 hingga Rp16.683 per dolar AS. Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Pihri Buhaerah, menyampaikan hal ini dalam acara Economic Outlook 2026 pada Senin, 22 Desember 2025.
“Kami perkirakan di 2025 ada di angka Rp16.150-16.683, sedangkan 2026 di level Rp16.678-17.098,” ujar Pihri Buhaerah.
Ramalan pelemahan rupiah tersebut didorong oleh masih tingginya ketidakpastian global akibat konflik geopolitik, yang memicu volatilitas di pasar keuangan. Selain itu, BRIN juga menyoroti potensi peningkatan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan mendekati 40% pada tahun depan.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperburuk sentimen investor global, mendorong berlanjutnya aliran modal asing keluar dari pasar portofolio, dan pada akhirnya memberikan tekanan lanjutan terhadap nilai tukar rupiah.






