Musim libur akhir tahun, yang identik dengan aktivitas pendakian gunung, kali ini menyajikan pemandangan berbeda di Nusa Tenggara Barat (NTB). Jika biasanya Gunung Rinjani dan Gunung Tambora dipadati wisatawan minat khusus, menjelang pergantian tahun 2025 ke 2026, seluruh jalur pendakian di dua mahkota alam tersebut justru ditutup.
Kebijakan penutupan ini, bagi sebagian pihak, mungkin terasa seperti rem mendadak di tengah euforia liburan. Namun, bagi yang lain, ini adalah alarm keras tentang batas daya dukung alam yang selama ini kerap terabaikan. Penutupan Rinjani dan Tambora bukan sekadar peristiwa tunggal, melainkan refleksi dari meningkatnya risiko cuaca ekstrem, tekanan wisata massal, serta jejak luka ekologis yang terus menumpuk dari tahun ke tahun.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Mitigasi Bencana dan Pemulihan Ekosistem
Secara resmi, penutupan jalur pendakian Gunung Rinjani diberlakukan mulai awal Januari hingga akhir Maret 2026. Enam jalur utama yang menjadi pintu masuk pendaki, termasuk Senaru dan Sembalun, dihentikan sementara. Alasan utama di balik kebijakan ini adalah mitigasi risiko bencana hidrometeorologi dan pemulihan ekosistem.
Pada periode yang hampir bersamaan, seluruh jalur pendakian Gunung Tambora di Pulau Sumbawa juga ditutup sejak akhir Desember 2025. Durasi penutupan Tambora akan disesuaikan dengan kondisi cuaca dan keamanan di lapangan.
Kedua kebijakan ini lahir dari konteks yang serupa. Curah hujan tinggi secara signifikan meningkatkan risiko longsor, banjir bandang, dan pohon tumbang di jalur pendakian. Lereng-lereng curam menjadi sangat rentan, dan catatan kejadian kecelakaan pendaki di musim hujan menunjukkan pola yang berulang dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, penutupan dianggap sebagai langkah paling rasional untuk mencegah risiko yang lebih besar.
Tekanan Wisata Massal dan Jejak Ekologis
Di balik alasan keselamatan, terdapat persoalan lain yang tak kalah krusial, yaitu tekanan terhadap ekosistem Rinjani dan Tambora yang terus meningkat. Gunung Rinjani, misalnya, bukan hanya sekadar gunung, melainkan sebuah taman nasional dengan keanekaragaman hayati tinggi. Danau kawahnya juga menjadi sumber kehidupan penting bagi masyarakat di sekitarnya.
Setiap musim pendakian panjang, jejak kerusakan ekologis selalu terlihat. Sampah menumpuk di berbagai titik, vegetasi terinjak-injak, jalur pendakian melebar secara tidak terkontrol, dan kawasan inti kehilangan waktu yang cukup untuk pulih. Penutupan ini diharapkan dapat memberikan jeda bagi alam untuk bernapas dan memulihkan diri dari dampak aktivitas manusia.
Kebijakan ini menjadi cermin penting tentang bagaimana negara mengelola pariwisata alam di tengah krisis iklim dan perubahan pola kunjungan wisatawan. Ini adalah pengingat bahwa gunung, seperti halnya makhluk hidup, juga memerlukan waktu untuk beristirahat agar warisan alam Nusantara tetap lestari.






