Nasional

Polemik Ucapan Natal Muslim: Menyelami Kompleksitas Toleransi di Indonesia

Setiap akhir bulan Desember, pertanyaan mengenai kebolehan seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani kembali mengemuka di ruang publik Indonesia. Perdebatan ini seolah tak pernah usai, memicu diskusi di media sosial, peredaran kembali cuplikan ceramah, dan pembelahan pandangan di tengah masyarakat.

Isu ini sejatinya tidak sesederhana masalah benar atau salah, mengingat Indonesia adalah negara yang dibangun di atas fondasi keberagaman. Umat beragama hidup berdampingan sebagai tetangga, kolega, sahabat, bahkan anggota keluarga. Dalam konteks sosial semacam ini, ucapan selamat hari raya sering kali dipandang sebagai bagian dari tata krama sosial. Namun, bagi sebagian Muslim, ucapan Natal bukan sekadar formalitas, melainkan menyentuh ranah keyakinan akidah.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Mengapa Ucapan Natal Menjadi Isu Kontroversial?

Jika ditelusuri lebih jauh, tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang secara eksplisit mengatur hukum mengenai ucapan Selamat Natal. Oleh karena itu, isu ini masuk dalam kategori ijtihad, yaitu ruang bagi perbedaan pandangan di antara para ulama dalam merumuskan hukum berdasarkan kaidah-kaidah syariat.

Perbedaan ini muncul dari sudut pandang yang bervariasi. Sejumlah ulama memandang ucapan Natal sebagai persoalan interaksi sosial dan etika, sementara pandangan lain melihatnya sebagai bagian dari masalah akidah yang harus dijaga dengan ketat.

Pandangan yang Mengizinkan

Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa mengucapkan Selamat Natal diperbolehkan, asalkan tidak berarti mengakui keyakinan teologis agama lain. Dalam perspektif ini, ucapan Natal dipandang sebagai bentuk kebaikan sosial dan upaya menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat.

Mereka merujuk pada ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk bersikap adil, berbuat baik, dan ramah kepada non-Muslim yang tidak memusuhi atau menzalimi umat Islam. Ucapan Natal, dalam batasan tertentu, dianggap sebagai ekspresi akhlak mulia, bukan pernyataan iman. Namun, pandangan ini tetap memiliki batasan yang jelas: ucapan tersebut tidak boleh disertai keyakinan terhadap kebenaran ajaran Natal, apalagi terlibat dalam ritual atau simbol keagamaannya. Bagi kelompok ini, toleransi harus sejalan dengan penjagaan akidah.

Pandangan yang Melarang

Di sisi lain, ada ulama yang berpendapat bahwa ucapan Selamat Natal tidak dapat dipisahkan dari makna religiusnya. Natal dianggap sebagai perayaan yang berkaitan langsung dengan keyakinan teologis umat Kristiani, sehingga mengucapkan selamat dianggap sebagai bentuk pengakuan, meskipun tanpa disadari.

Pandangan ini didasarkan pada kehati-hatian dalam menjaga tauhid. Ucapan Natal dianggap dapat mengarahkan seorang Muslim pada sikap menyerupai praktik agama lain atau membuka ruang kompromi dalam hal keyakinan. Oleh karena itu, sikap tegas dianggap penting agar batas akidah tetap terjaga. Pendekatan ini juga didasarkan pada prinsip pencegahan (saddu adz-dzari’ah), yakni menutup jalan yang dapat mengarah pada kerusakan akidah, khususnya bagi masyarakat awam yang belum memiliki pemahaman agama yang mendalam.

Perbedaan yang Tak Perlu Diperdebatkan

Satu hal penting yang sering terabaikan dalam diskusi ini adalah bahwa kedua pandangan tersebut sama-sama lahir dari niat untuk menjaga ajaran Islam. Tidak ada satupun yang bertujuan merusak atau merendahkan agama.

Masalah muncul ketika perbedaan sikap ini berujung pada saling menghujat. Mereka yang mengucapkan Natal kerap dicap lemah iman atau liberal, sementara yang menolak ucapan tersebut dituding intoleran. Padahal, perbedaan dalam ranah ijtihad seharusnya tidak berujung pada perpecahan.

Jika seseorang memilih untuk mengucapkan Selamat Natal, sebaiknya ia memastikan bahwa itu dilakukan dengan niat tulus sebagai bagian dari norma sosial dan tidak bertentangan dengan keyakinan sebagai seorang Muslim. Di sisi lain, jika ada yang memilih untuk tidak mengucapkannya, keputusan tersebut juga patut dihargai sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan agama.

Mempertahankan Keyakinan, Memelihara Kebersamaan

Pada akhirnya, ucapan Natal hanyalah salah satu aspek kecil dari tantangan beragama di masyarakat yang beragam. Lebih dari sekadar ucapan, yang jauh lebih penting adalah bagaimana umat Islam dapat menjaga keimanan, menunjukkan perilaku yang baik, dan tetap memelihara persatuan.

Perbedaan seharusnya tidak dipaksakan untuk menjadi satu kesatuan. Yang terpenting adalah cara kita meresponsnya. Sebab, di hadapan Allah di masa mendatang, setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan yang diambilnya sendiri, bukan pilihan orang lain.

Mureks