Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga penghujung tahun 2025 menunjukkan bahwa sengketa kepegawaian masih menjadi isu sentral dalam peradilan administrasi. Kasus-kasus seperti Nomor 164/G/2025 di Surabaya, serta Nomor 420/G/2025 di Jakarta, menjadi cerminan pentingnya penguatan kepatuhan hukum di internal instansi pemerintah.
Basuki Kurniawan, akademisi dan pengajar Hukum Administrasi Negara, menyoroti fenomena ini bukan sekadar tentang hasil menang atau kalah di pengadilan. Menurutnya, tingginya angka gugatan yang dikabulkan oleh hakim seringkali berakar pada dua pilar fundamental yang kurang termitigasi dengan baik dalam tata kelola birokrasi.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Konstruksi Kewenangan yang Presisi
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keabsahan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sangat bergantung pada kejelasan sumber wewenang. Basuki menjelaskan, banyak sengketa muncul karena Surat Keputusan (SK) diterbitkan tanpa memperhatikan batasan wewenang, baik itu atribusi, delegasi, maupun mandat. Akibatnya, secara yuridis produk hukum tersebut rentan untuk dibatalkan oleh pengadilan.
Kepatuhan Prosedural sebagai Mahkota Administrasi
Selain masalah kewenangan, sengketa kepegawaian juga sering dimenangkan oleh penggugat karena adanya celah dalam tahapan prosedural. Di PTUN, kebenaran substansi suatu keputusan kerap tidak bermakna jika prosedur, seperti proses pemeriksaan, jenjang sanksi, atau hak jawab pegawai, dilompati. Basuki menegaskan, prosedur bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan perlindungan hak bagi warga negara sekaligus pelindung bagi pejabat agar keputusannya memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Refleksi bagi Tata Kelola Pemerintahan
Tingginya interaksi di PTUN mengindikasikan bahwa sistem kontrol terhadap potensi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) berjalan semakin dinamis. Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) perlu menempatkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai kompas utama dalam setiap pengambilan keputusan.
Ketelitian dalam menyusun naskah dinas kepegawaian merupakan bentuk mitigasi risiko hukum bagi institusi. Sebelum sebuah keputusan ditandatangani, Basuki menekankan dua prasyarat utama yang harus dipastikan:
- Apakah sumber kewenangannya sudah tepat secara regulasi?
- Apakah seluruh tahapan prosedural telah dilalui secara utuh dan transparan?
Hukum Administrasi, menurut Basuki, hadir bukan untuk menghalangi gerak birokrasi, melainkan untuk memastikan bahwa setiap tindakan pemerintahan memiliki landasan hukum yang kokoh dan berkeadilan. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi birokrasi untuk terus meningkatkan kualitas tata kelolanya.






