Kabupaten Jombang pada penghujung tahun 2025 menyajikan gambaran statistik yang sekilas menenangkan, namun menyimpan kegelisahan struktural yang mendalam. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah ini mencapai 76,37, meningkat 0,93 persen dari tahun sebelumnya, seringkali dirayakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun, angka makro ini menutupi realitas di tingkat akar rumput, di mana pengeluaran per kapita yang disesuaikan naik menjadi Rp12,97 juta per tahun di tengah tekanan biaya hidup yang kian mencekik.
Optimisme tersebut harus dibenturkan pada penetapan Garis Kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Standar ini berarti seseorang yang hanya mampu membelanjakan Rp20.305 per hari sudah dianggap tidak miskin, sebuah ambang batas yang sangat rendah dan berisiko jika dihadapkan pada fluktuasi harga kebutuhan pokok di lapangan.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Kerentanan ekonomi semakin nyata terlihat dari alokasi konsumsi penduduk miskin Jombang. Sebanyak 74,58 persen pengeluaran mereka habis hanya untuk urusan makanan, menyisakan 25,42 persen untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Ruang gerak keuangan rumah tangga miskin menjadi sangat sempit tanpa bantalan proteksi yang memadai.
Kondisi ini menjelaskan mengapa angka kemiskinan Jombang yang sebesar 8,36 persen bersifat sangat rapuh. Sedikit saja inflasi pangan terjadi, kelompok masyarakat yang berada tepat di atas garis kemiskinan akan dengan mudah terperosok kembali. Fenomena ini diperkuat dengan angka Gini Ratio yang menyentuh 0,30 pada tahun 2024, yang bukannya menandakan pemerataan kemakmuran, justru lebih condong pada “pemerataan kerentanan” di mana pengeluaran masyarakat cenderung seragam di zona hampir miskin.
Patologi Pendidikan dan Jebakan Sektor Informal
Di balik angka IPM yang masuk kategori “tinggi”, Jombang menyimpan patologi pendidikan kronis. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Jombang baru menyentuh 8,88 tahun. Data BPS ini menegaskan bahwa secara kolektif, penduduk dewasa usia 25 tahun ke atas di Jombang rata-rata tidak lulus SMP, sebuah kondisi yang kontras dengan Harapan Lama Sekolah (HLS) yang dipatok pada angka 13,62 tahun.
Stagnasi pendidikan ini menjadi penghambat utama bagi 5.404 Anak Tidak Sekolah (ATS) untuk menembus pasar kerja formal yang mensyaratkan kualifikasi menengah ke atas. Tanpa ijazah setingkat SMA sebagai standar minimal industri, angkatan kerja masa depan akan terjebak selamanya di sektor informal berupah rendah, yang memicu reproduksi ketidaktahuan antar generasi.
Dilema Agraria dan Anomali Sosial
Sebagai daerah yang diproyeksikan mendukung swasembada pangan nasional, Jombang menghadapi dilema besar antara kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani yang kian terhimpit secara ekonomi. Berdasarkan analisis potensi sumber daya daerah, Jombang memang menjadi surplus beras. Namun, sektor pertaniannya sedang dalam tekanan hebat akibat alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan industri dan pemukiman.
Rendahnya RLS masyarakat lokal membuat para mantan petani hanya terserap sebagai buruh kasar. Hal ini menjelaskan mengapa meskipun Jombang surplus pangan, jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) masih menyentuh 15.000 unit. Anomali pembangunan juga terlihat pada kontradiksi antara Angka Harapan Hidup (AHH) yang meningkat menjadi 74,97 tahun dengan fakta kenaikan kasus kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga 88 kasus pada tahun 2024 yang dicatat oleh Women’s Crisis Center (WCC).
Keterbatasan Fiskal dan Urgensi Transformasi Struktural
Seluruh kompleksitas masalah sosial ini akhirnya berbenturan dengan kapasitas fiskal daerah yang sangat kaku. Porsi belanja operasi yang memakan hampir 80% anggaran menutup ruang gerak bagi transformasi pendidikan dan infrastruktur. Dalam kondisi fiskal yang terbatas, janji kampanye tambahan dana desa hingga Rp1 miliar per desa berisiko menjadi narasi populisme jika tidak dibarengi dengan validasi data secara terbuka dan uji petik transparan.
Tanpa adanya perubahan arah kebijakan yang radikal, stabilitas statistik 2025 hanyalah “napas buatan” sebelum Jombang benar-benar terperosok dalam jebakan pendapatan menengah bawah yang lebih dalam.
Pekerjaan rumah Pemerintah Kabupaten Jombang adalah segera beralih dari pola pembangunan administratif menuju transformasi struktural yang nyata. Langkah awal harus dimulai melalui validasi data radikal secara by name by address untuk mengeliminasi inefisiensi anggaran. Pemerintah daerah harus mampu menjawab kebocoran modal manusia dengan melakukan “revolusi pendidikan menengah” bagi 5.404 Anak Tidak Sekolah serta menuntaskan program pelatihan vokasi guna mendongkrak Rata-rata Lama Sekolah.
Di sektor agraria, perlindungan terhadap lahan sawah produktif harus diperketat melalui regulasi lahan abadi guna menghentikan fragmentasi lahan yang memicu urbanisasi paksa petani ke sektor informal yang rentan. Selain itu, restrukturisasi APBD menjadi harga mati agar porsi Belanja Modal tidak terus tergerus oleh Belanja Operasi, sehingga tersedia ruang fiskal yang cukup untuk menangani 15.000 Rumah Tidak Layak Huni secara sistematis. Terakhir, penguatan mitigasi sosial harus diintegrasikan dengan sistem kesehatan dan perlindungan perempuan untuk memastikan Jombang tumbuh sebagai ruang hidup yang aman dan bermartabat bagi seluruh warganya.






