JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah pabrik pupuk milik negara di Indonesia, termasuk PT Pupuk Kujang dan Pupuk Sriwijaya (Pusri) III, kini telah berusia lebih dari 50 tahun. Kondisi ini memicu sorotan tajam dari pemerintah karena menyebabkan biaya produksi pupuk urea melonjak drastis, bahkan mencapai Rp 4,5 juta per ton untuk konsumsi gas saja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Zulkifli Hasan, menyoroti langsung kondisi ini saat mengunjungi pabrik Pupuk Kujang di Karawang, Jawa Barat, pada Kamis (6/11/2025). “Saya hari ini berada di Pupuk Kujang yang dibangun tahun 1975. Tahun 1975, jadi sudah 50 tahun,” ujar Zulkifli Hasan. Ia menambahkan bahwa usia ideal sebuah pabrik seharusnya hanya sekitar 20 tahun. PT Pupuk Kujang, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero) yang didirikan pada 9 Juni 1975, memiliki kapasitas produksi 1.140.000 ton pupuk urea dan 660.000 ton amonia per tahun.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Inefisiensi Biaya Produksi Akibat Teknologi Tua
Persoalan usia pabrik yang tua dan teknologi yang usang juga menjadi perhatian Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI pada Senin (24/12/2025), Amran menjelaskan bahwa teknologi dari 50 tahun lalu membuat produksi pupuk urea membutuhkan konsumsi gas yang sangat tinggi.
“Kalau (pabrik dengan teknologi) baru hanya 2 juta ton,” kata Amran di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, merujuk pada biaya gas per ton pupuk urea di pabrik baru yang jauh lebih efisien dibandingkan Rp 4,5 juta per ton di pabrik tua.
Amran memaparkan data perbandingan biaya produksi antara pabrik tua Pusri III dan pabrik baru Pusri IIIB yang baru berusia 10 tahun. Untuk setiap satu ton pupuk urea yang diproduksi di Pusri III, dibutuhkan bahan baku gas sebesar Rp 4,55 juta, non bahan baku Rp 2,19 juta, sehingga harga pokok produksi (HPP) mencapai Rp 6,74 juta. Dengan biaya usaha Rp 0,425 juta per ton, HPP full cost mencapai Rp 7,16 juta per ton.
Sebaliknya, pabrik Pusri IIIB yang lebih modern hanya membutuhkan bahan baku gas Rp 2,68 juta per ton. Dengan biaya non bahan baku Rp 2,19 juta dan biaya usaha Rp 0,425 juta, HPP produksi di Pusri IIIB hanya Rp 4,88 juta, dan HPP full cost sebesar Rp 5,30 juta per ton. “Efisiensi HPP 26 persen,” tegas Amran, menunjukkan perbedaan signifikan dalam efisiensi biaya.
Revitalisasi untuk Efisiensi Energi
PT Pupuk Indonesia juga mengakui bahwa biaya produksi pupuk yang mahal disebabkan oleh konsumsi gas mesin produksi yang sangat besar. Sekretaris Perusahaan Pupuk Indonesia, Yehezkiel Adiperwira, menyatakan bahwa konsumsi gas pabrik pupuk di Indonesia yang sudah tua melebihi standar rata-rata dunia.
Sebagai contoh, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), salah satu anak perusahaan PT Pupuk Indonesia, membutuhkan 54 MMBTU gas untuk memproduksi 1 ton pupuk urea. Oleh karena itu, Pupuk Indonesia tengah mengagendakan revitalisasi untuk melakukan efisiensi anggaran, salah satunya dengan menekan konsumsi energi.






