Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Dr. Bambang Irawan, menyoroti fenomena ketidakadilan yang kerap hadir dalam wujud yang halus, tersembunyi di balik narasi pembangunan dan laporan statistik yang tampak rapi. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa “Indonesia belum selesai,” meskipun harapan untuk perubahan masih tetap ada.
Dalam pandangannya, ketidakadilan dan penindasan kini jarang menampakkan diri secara terang-terangan dengan kekerasan fisik. Sebaliknya, ia menyelinap melalui “bahasa pembangunan, program yang terdengar mulia, dan laporan statistik yang tampak rapi.” Kondisi ini, kata Bambang, seringkali membuat masyarakat merasa “semuanya baik-baik saja” karena indikator angka-angka ekonomi terlihat membaik. Namun, di balik itu, beban hidup masyarakat justru kian berat, ruang aman menyempit, dan kelompok rentan terus menanggung dampak dari kebijakan yang tidak mereka putuskan.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Bambang menegaskan bahwa kemiskinan bukanlah takdir semata, melainkan konsekuensi dari pilihan politik dan tata kelola yang ada. Ia mengkritik praktik korupsi yang telah menjadi kebiasaan di kalangan elite, yang pada akhirnya menjadikan kemiskinan sebagai “warisan rakyat.” Akibatnya, uang publik bocor, layanan dasar seperti sekolah, puskesmas, dan perlindungan sosial menjadi tidak optimal. Akses terhadap keadilan pun terasa mahal, seringkali bergantung pada faktor uang, jejaring, atau kekuasaan. Dalam situasi ini, masyarakat miskin tidak hanya kekurangan pendapatan, tetapi juga kehilangan “daya tawar” untuk mencapai kehidupan yang layak.
Korupsi dan Bencana Ekologis: Sebuah Keterkaitan
Lebih lanjut, Prof. Bambang Irawan menyoroti bahwa korupsi tidak hanya menggerogoti anggaran negara, tetapi juga merusak cara bangsa ini memperlakukan alam. Praktik jual beli izin sumber daya, pengawasan hutan yang longgar akibat suap atau konflik kepentingan, serta pengabaian peringatan ilmiah demi investasi, disebutnya sebagai pemicu kerusakan ekologis yang hampir pasti terjadi. “Banjir dan longsor bukan semata-mata ‘bencana alam’; sering kali ia adalah ‘bencana sistem dan tata kelola’,” tegasnya.
Sebagai contoh pahit, Bambang mengutip tragedi banjir dan longsor besar yang melanda Sumatra, meliputi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, pada awal Desember 2025. Bencana tersebut dilaporkan menewaskan sekitar 800 orang, dengan ratusan lainnya hilang, jutaan warga terdampak, dan ratusan ribu terpaksa mengungsi. Beberapa hari berselang, laporan berbasis data pemerintah yang dikutip Reuters menunjukkan peningkatan angka kematian menjadi setidaknya 940 orang, dengan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang. “Ini bukan sekadar statistik: di balik setiap angka, ada keluarga yang kehilangan orang tua, anak, rumah, dan masa depan,” ujarnya, menekankan dampak kemanusiaan yang mendalam.
Menurut Bambang, istilah “korupsi pada alam” bukan sekadar metafora puitis, melainkan merujuk pada praktik nyata seperti pembiaran pembalakan liar, pembukaan lahan tanpa kendali, perizinan yang tidak transparan, dan penegakan hukum yang tumpul. Ia juga menyoroti kritik publik yang muncul dalam liputan terkait, mengenai pemotongan anggaran lembaga mitigasi bencana serta tudingan bahwa deforestasi dan illegal logging telah memperparah dampak bencana tersebut.
Apabila tata kelola semacam ini terus dibiarkan, Bambang memperingatkan bahwa bencana tidak hanya akan berulang, tetapi juga akan semakin memiskinkan masyarakat. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya maksimal dalam penanganan bencana alam, ia berpendapat bahwa selama sistem hukum masih berpihak pada elite penguasa dan budaya korup tetap merajalela, maka “bencana-bencana berikutnya hanya akan menunggu waktu.”
Pendidik dan Intelektual dalam Bayang-bayang Keterbatasan
Prof. Bambang Irawan juga menyoroti ironi nasib para pendidik, seperti guru dan dosen, yang seharusnya menjadi “pelita” namun seringkali terpaksa hidup dalam keterbatasan. Ia mengamati bahwa banyak pendidik kesulitan untuk menulis, meneliti, dan berkarya, bukan karena minimnya gagasan, melainkan karena “beratnya beban ekonomi dan administrasi.” Ketika kebutuhan dasar belum terpenuhi, energi mental mereka habis untuk bertahan hidup, bukan untuk menghasilkan pengetahuan. “Padahal, bangsa yang menelantarkan pendidiknya sedang melemahkan mesin utama perbaikan sosial: pendidikan yang jernih, kritis, dan berorientasi pada masa depan,” ujarnya.
Selain itu, Bambang melihat adanya fenomena di mana sebagian elite agama dan intelektual terjebak dalam kompromi dengan kekuasaan. Akibatnya, ruang kritis menyempit, dan suara yang seharusnya berfungsi mengoreksi kebijakan justru melemah, bahkan terkadang berubah menjadi pembenaran. Ia mengamati bahwa mimbar menjadi “aman,” kampus kehilangan daya gugat, dan organisasi sipil mudah terpecah belah oleh polarisasi.
Dalam kondisi demikian, penindasan, menurut Bambang, tidak perlu lagi berteriak keras. Ia cukup “membuat masyarakat lelah, sibuk, dan saling curiga.” Sumber daya alam, seperti hutan, laut, dan tambang, yang seharusnya menjadi milik bersama, pada praktiknya seringkali hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Rakyat kecil menanggung risiko, sementara keuntungan besar mengalir ke puncak. Ketika ruang hidup dirampas atau rusak, yang hilang bukan hanya aset fisik seperti pohon atau tanah, melainkan juga mata pencarian, kesehatan, dan ketahanan sosial. Dampaknya bersifat berantai: banjir merusak sawah, longsor memutus akses, air bersih menjadi langka, harga kebutuhan pokok naik, dan anak-anak terpaksa putus sekolah. “Ketidakadilan ekonomi dan krisis ekologi pada akhirnya bertemu di satu titik: penderitaan warga miskin,” pungkasnya.
Langkah Konkret Menuju Perubahan
Menyikapi berbagai persoalan tersebut, Prof. Dr. Bambang Irawan mengajukan sejumlah langkah konkret yang ia sebut “bukan sekadar slogan,” demi mencegah Indonesia semakin terpuruk. Ia meyakini bahwa harapan tidak lahir dari kepasrahan, melainkan dari kerja kolektif yang memiliki arah jelas.
-
Perang Antikorupsi Serius dan Konsisten. Langkah ini mencakup penguatan penegakan hukum, transparansi anggaran, serta audit yang berani menyentuh sektor-sektor “basah” seperti sumber daya alam, pengadaan, dan proyek infrastruktur. Korupsi, menurutnya, harus diperlakukan sebagai kejahatan yang merusak hak sosial-ekonomi warga, bukan sekadar pelanggaran administratif.
-
Reformasi Tata Kelola Alam Berbasis Keterbukaan dan Sains. Izin-izin terkait hutan, tambang, dan pesisir harus mudah diawasi publik. Penilaian dampak lingkungan (AMDAL) tidak boleh hanya menjadi formalitas, dan setiap pelanggaran harus ditindak tegas, bukan dinegosiasikan. “Jika banjir dan longsor terus berulang, artinya ada yang keliru di hulu: izin, pengawasan, dan penegakan,” kata Bambang.
-
Mengembalikan Martabat Pendidik dan Peneliti. Kesejahteraan guru dan dosen dipandang bukan sebagai hadiah, melainkan investasi penting bagi kemajuan bangsa. Negara yang ingin maju membutuhkan ekosistem pengetahuan yang mendukung riset, publikasi, dan perlindungan kebebasan akademik. Tanpa hal tersebut, kebijakan akan “terus miskin data dan mudah dikuasai kepentingan jangka pendek.”
-
Memulihkan Fungsi Moral Elite Agama dan Intelektual. Peran mereka tidak hanya sebatas memberikan legitimasi, tetapi juga menjaga nurani publik dengan membela yang lemah, menegur penyimpangan, dan mendorong politik kebajikan. “Diam di tengah ketidakadilan sering berfungsi sebagai ‘persetujuan sosial’ yang paling efektif’,” tegasnya.
-
Memperkuat Kesiapsiagaan Bencana dan Perlindungan Sosial. Tragedi di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara menjadi bukti betapa mahalnya kerusakan ketika logistik terputus, akses air bersih sulit, dan layanan kesehatan terbatas. Mitigasi bencana harus dipandang sebagai kebutuhan dasar, bukan sekadar pos anggaran yang dapat dipangkas seenaknya.
-
Merawat Ruang Publik dari Disinformasi dan Politik Kebencian. Masyarakat yang mudah dipecah belah akan kesulitan bersatu melawan korupsi dan kerusakan alam. Oleh karena itu, literasi media, budaya verifikasi, dan etika komunikasi perlu dibangun mulai dari lingkungan sekolah hingga komunitas.
Prof. Bambang Irawan menutup tulisannya dengan optimisme, menyatakan bahwa perubahan tidak selalu harus lahir dari tokoh besar. Ia seringkali bermula dari “keberanian kecil yang konsisten,” seperti menolak suap, menjaga integritas, melindungi alam di tingkat komunitas, menulis dan bersuara saat melihat penyimpangan, serta membangun solidaritas lintas kelompok. “Indonesia belum selesai,” pungkasnya, “Namun, selama masih ada orang yang berani berpikir jernih, berbicara benar, dan bekerja jujur, harapan tidak mati. Ia sedang menunggu untuk diperjuangkan.”






