Hujan deras telah reda, dan arus sungai kembali tenang. Namun, bagi ratusan warga di Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, luka akibat banjir bandang yang melanda wilayah mereka belum sepenuhnya mengering. Lumpur masih menempel di dinding rumah, perabotan banyak yang hanyut, dan yang paling memilukan, selama berhari-hari mereka terisolasi tanpa bantuan.
Barulah pada Kamis, 4 Desember 2025, secercah harapan datang. Rombongan tim DT Peduli dan relawan Sisisa berhasil menembus wilayah terpencil tersebut, membawa bantuan logistik dan layanan kesehatan. Kedatangan mereka disambut wajah-wajah letih namun penuh ketegaran di Masjid Jami, Bona Lumban, Kecamatan Tukka.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Bantuan kemanusiaan yang diangkut dengan enam armada pikap dan satu mobil pribadi itu meliputi pakaian layak pakai, mi instan, makanan ringan, perlengkapan mandi, 1,7 ton beras, minyak, gula, roti kering, popok bayi, pembalut wanita, hingga layanan trauma healing. Seluruhnya didistribusikan untuk 650 kepala keluarga yang terdampak.
Bantuan Pertama di Tengah Keterisolasian
Sani, salah satu relawan DT Peduli di lokasi, mengungkapkan betapa sulitnya akses menuju desa tersebut. “Kita sudah tiba di Kecamatan Tukka. Di sini merupakan desa yang terisolir dan ini adalah bantuan pertama dari masyarakat yang masuk ke desa Tukka. Alhamdulillah setelah melewati berbagai rintangan, kita bisa sampai di desa ini,” ujarnya.
Ia menambahkan, tim berencana membangun dapur umum bersama DT Peduli Sumatera Utara dan Sisisa. “Tentunya kami masih sangat berharap bantuan daripada masyarakat untuk sama-sama kita menolong saudara-saudari kita di sini yang terkena bencana banjir dan longsor,” kata Sani.
Ketika Obat Menjadi Kemewahan
Di balik bantuan logistik, muncul kenyataan pahit lain: banyak warga mulai jatuh sakit. Air yang masih menggenang, bercampur lumpur dan berbau tak sedap, menjadi sumber penyakit. Anak-anak demam, orang tua batuk tak henti, dan berbagai keluhan kesehatan lainnya bermunculan, menambah beban pemulihan.
Momen paling memilukan dialami Sani saat seorang ibu tiba-tiba menangis di hadapan tim relawan. Ibu tersebut hanya meminta satu hal: obat demam untuk bayinya yang terbaring lemah, sementara suaminya lumpuh dan tak mampu membawanya ke fasilitas medis.
“Jauh kami datang. Banyak barang yang kami bawa. Sedikit saja yang ibu minta, kami nggak bisa kasih,” kenang Sani, suaranya bergetar. Ia melanjutkan, “Beliau minta obat untuk bayinya. Suaminya lumpuh dan anaknya sakit. Tapi kami nggak bawa obat-obatan, kami cuma bawa sembako. Pecah tangisnya mengatakan, ‘Ada obat demam untuk anak, Dek?’ Sakit kepala rasanya leherku mengatakan, ‘nggak ada, Bu…’,'”
Kesehatan warga menjadi pekerjaan rumah terbesar yang harus segera diatasi. Relawan harus menyeberangi genangan air demi memastikan bantuan sampai, menyadari bahwa di balik air berbau itu, ancaman penyakit bisa memicu tragedi baru kapan saja.
“In sya Allah, untuk bantuan selanjutnya ya, Bu, kita bawa obat-obatan. Nanti kita sampaikan ke masyarakat dan donatur bahwa ibu butuh obat-obatan,” janji Sani, matanya berkaca-kaca, sebuah janji yang menempel di hati para relawan.
Senyum Anak-Anak di Tengah Lumpur dan Harapan yang Terangkai
Di tengah kepiluan, Allah selalu menghadirkan ruang kecil untuk kebahagiaan. Kedatangan relawan menghidupkan kembali keriangan anak-anak. Mereka berlari, tertawa, bahkan bermain dengan genangan air yang tersisa, seolah bencana tak boleh sepenuhnya merampas masa kecil mereka.
Para ibu, meski dengan mata penuh kekhawatiran, tetap mencoba tersenyum dan saling menguatkan. Relawan akhwat duduk bersama mereka, mendengarkan cerita tentang pakaian sekolah yang hanyut, dapur yang hilang, serta ketakutan menghadapi hujan berikutnya.
Para bapak yang biasanya sibuk di sawah kini turut membantu menurunkan paket bantuan. Kontribusi kecil itu menjaga harga diri dan tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga.
Saat matahari mulai terbenam, tibalah waktu yang paling berat. Warga penyintas harus melepas kepergian rombongan relawan yang harus melanjutkan perjalanan ke daerah lain. Tangis pecah, pelukan hangat terjalin, dan lambaian tangan yang enggan terangkat mengiringi kepergian mereka. Ucapan terima kasih tak sempat tersusun rapi dalam kalimat.
Sebagian warga menahan rombongan lebih lama, mungkin untuk memastikan bahwa mereka sungguh akan kembali, atau sekadar mencuri secuil rasa aman sebelum malam tiba. Relawan berjalan meninggalkan masjid dengan langkah berat, menyusuri jalan yang masih tergenang, membawa pulang kisah, luka, dan harapan yang harus disampaikan kepada masyarakat luas.
Hari itu, tawa, tangis, dan doa menyatu di satu tempat yang sama. Masjid Jami yang seketika berubah menjadi ruang penyembuhan. Banjir telah merampas banyak hal, namun tidak semuanya hilang. Masih ada kepedulian, masih ada tangan-tangan yang tak mau melepaskan sesama manusia sendirian dalam bencana. Di Kecamatan Tukka, air mata, pelukan, dan semangat untuk bangkit bersama kembali menyala.






