Nasional

Mengurai Mitos ‘Anak Malas’: Mengapa Setiap Anak Memiliki Gaya Belajar Unik yang Sering Terabaikan?

Sejak usia dini, anak-anak Indonesia telah terbiasa dengan pola pendidikan formal yang cenderung seragam: duduk di bangku, mendengarkan penjelasan guru, mencatat materi, lalu diuji melalui serangkaian tes untuk mendapatkan nilai. Pola ini kerap menciptakan dikotomi antara siswa yang dianggap “pintar” karena meraih nilai tinggi dan mereka yang dilabeli “lambat” akibat capaian akademis yang kurang memuaskan.

Sistem Pendidikan dan Gaya Belajar Unik Setiap Anak

Namun, pandangan yang semakin menguat menunjukkan bahwa permasalahan ini tidak selalu terletak pada kemampuan intrinsik anak. Seringkali, akar masalahnya justru berada pada sistem pendidikan yang secara tidak langsung memaksakan semua anak untuk belajar dengan metode yang sama persis.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Faktanya, tidak semua anak mampu menyerap pelajaran dengan cara yang identik. Ada siswa yang dapat langsung memahami materi hanya dengan mendengarkan penjelasan lisan dari guru. Sebagian lain membutuhkan proses membaca ulang berkali-kali hingga konsep benar-benar tertanam. Sementara itu, ada pula anak-anak yang baru benar-benar menguasai suatu topik setelah mencoba dan mempraktikkannya secara langsung.

Ironisnya, di banyak institusi pendidikan, hanya satu atau dua metode belajar yang diberikan ruang dominan. Akibatnya, anak-anak dengan gaya belajar yang berbeda sering kali dianggap memiliki masalah atau kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Situasi ini dinilai sebagai salah satu bentuk ketidakadilan terbesar dalam lanskap pendidikan kita.

Mencari Akar Masalah: Bukan Sekadar “Kurang Konsentrasi”

Ketika seorang anak menghadapi kesulitan dalam mengikuti pelajaran, respons awal yang umum sering kali langsung menyalahkan siswa tersebut: dianggap kurang konsentrasi, malas, atau bahkan kurang cerdas. Jarang sekali pertanyaan kritis diajukan, seperti “Apakah metode mengajar ini sudah sesuai untuk anak ini?” Padahal, banyak anak yang sesungguhnya memiliki potensi luar biasa, namun belum menemukan cara belajar yang paling cocok bagi mereka.

Setiap anak memasuki ruang kelas dengan “bagasi” pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang keluarga, pengalaman di rumah, hingga interaksi sosial sehari-hari turut membentuk cara mereka menyerap ilmu. Anak yang terbiasa berdiskusi di rumah mungkin akan lebih aktif bertanya di kelas, sedangkan mereka yang jarang diberi kesempatan berbicara di lingkungan keluarga bisa terlihat pendiam dan pasif. Kondisi ini bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena belum terbiasa dengan lingkungan belajar yang mendukung gaya mereka.

Lebih dari Sekadar Angka di Rapor

Sayangnya, sistem pendidikan kerap terlalu fokus pada hasil akhir berupa nilai tinggi sebagai indikator kesuksesan, dan nilai rendah sebagai penanda kegagalan. Padahal, esensi belajar jauh melampaui sekadar angka di rapor. Belajar adalah tentang pemahaman mendalam, pengembangan diri, dan pertumbuhan rasa percaya diri.

Idealnya, sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi anak untuk bereksperimen dengan berbagai cara belajar mereka sendiri. Sebuah lingkungan di mana mereka tidak takut berbuat salah, bebas bertanya, dan tidak merasa minder hanya karena berbeda dari teman-temannya. Ketika anak merasa nyaman secara emosional, proses belajar akan mengalir lebih lancar dan memiliki makna yang lebih dalam.

Peran guru dan orang tua menjadi sangat krusial dalam konteks ini. Bukan untuk memaksakan keseragaman, melainkan justru untuk membuka variasi metode pengajaran, mendengarkan kebutuhan anak, dan menghindari pelabelan negatif secara terburu-buru. Langkah-langkah kecil semacam ini berpotensi memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan anak.

Pada akhirnya, mungkin sudah saatnya kita berhenti terobsesi dengan pertanyaan “Siapa yang paling pintar di kelas?” Pertanyaan yang lebih fundamental adalah: “Apakah setiap anak sudah mendapatkan kesempatan belajar sesuai dengan gaya dan kebutuhannya masing-masing?” Sebab, jika cara belajarnya sudah tepat, setiap anak memiliki peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Mureks