Nasional

Mengungkap Jiwa Karya Sastra Prosa: Bagaimana Gagasan Estetik Terangkai dalam Diksi dan Narasi Memukau

Karya sastra prosa menawarkan ruang luas bagi penulis untuk mengekspresikan gagasan estetiknya. Melalui permainan diksi, elemen narasi, serta pemanfaatan simbol dan majas, prosa mampu memperkaya pengucapan jiwa ekspresi yang kompleks.

Gagasan Estetik sebagai Jiwa Prosa

Novel, novelet, cerita pendek, hingga esai naratif adalah beberapa varian karya sastra prosa yang menempatkan gagasan estetik sebagai inti ekspresi. Berbeda dengan puisi yang lebih menekankan kepadatan, tipografi, rima, dan irama, prosa memiliki keleluasaan lebih besar untuk membangun dunia imajinasi, mengembangkan karakter, dan menganyam argumen filosofis melalui struktur naratif tertentu.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Kemerdekaan struktural dalam prosa memungkinkan eksplorasi keindahan dengan jumlah kata yang lebih banyak. Dengan caranya sendiri, prosa mengajak pembaca untuk mengapresiasi nilai artistik yang terjalin erat dalam cerita, dikemas dengan performa bahasa yang memikat.

Penting untuk dipahami, gagasan estetik dalam prosa bukan sekadar dekorasi. Ia adalah jiwa karya sastra prosa yang terwujud seiring dengan beroperasinya elemen intrinsik secara maksimal. Keselarasan antara bentuk (form) pengucapan gagasan estetik dan isi (content) narasi yang terkait dengan kompleksitas, kedewasaan, serta kebijaksanaan menjadi sangat krusial.

Peran Gaya Bahasa dalam Ekspresi Estetik

Pemanfaatan bahasa merupakan fondasi kokoh dalam ekspresi estetik karya sastra prosa. Penulis memegang kendali penuh atas kata-kata, memainkan strategi jitu agar bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga untuk menggugah suasana hati, mengkreasikan citraan, dan menimbulkan efek emosional.

Gaya bahasa atau stilisasi ibarat “sidik jari” unik penulis yang membuat karyanya menonjol. Melalui gaya bahasa, seorang penulis menuangkan nilai estetika miliknya secara langsung. Penulis menentukan pilihan kata (diksi) sesuai kehendak artistiknya ke dalam struktur kalimat yang khas, guna menghadirkan suasana atau nada yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Raut estetika dapat hadir dari kebersahajaan yang penuh daya pikat ketajaman (minimalisme) atau dengan kekuatan deskripsi yang kaya dan meluap (maksimalisme). Gaya bahasa mampu mengintervensi persepsi sensoris pembaca.

Sastrawan dan jurnalis Amerika Serikat Ernest Miller Hemingway (1899-1961), misalnya, mengekspresikan gagasan estetiknya yang jujur dan penuh citra kejantanan melalui gaya bahasa dengan kalimat-kalimat pendek, lugas, dan minim adjektiva. Sebaliknya, Gabriel García Márquez (1927-2014), sastrawan dan wartawan asal Kolombia, mengekspresikan gagasan estetiknya lewat gaya bahasa dengan kalimat-kalimat panjang, berkelok-liku, penuh pesona, serta mengombinasikan hal-hal fantastis dengan duniawi dalam tatanan realisme magis.

Diksi dan Majas

Pemakaian majas (figurative language) juga termasuk dalam pembahasan gaya bahasa. Metafora, simile, personifikasi, dan varian majas lain menjadi cara penulis prosa menuangkan gagasan yang mencapai nilai estetik. Majas dapat menstilisasi ekspresi sehingga terasa hidup dan sarat kesan secara visual atau emosional.

Sebagai contoh, gagasan faktual tentang “langit gelap” dapat diperkaya dengan sentuhan metafora subjektif seperti “langit serupa kanvas lukisan yang terisi penuh dengan goresan demi goresan cat ketakutan”. Ungkapan ini lebih mampu mengantarkan kesan suasana mencekam, membentuk gambaran yang melampaui makna harfiahnya di benak pembaca.

Diksi (word choice) juga merupakan bagian penentu dalam pembentukan gaya bahasa. Pemilihan kata dengan tingkat pencermatan dan pembobotan tinggi, baik yang lugas (transparan) maupun berlapis makna, dapat memberikan pengaruh estetik signifikan.

Pernyataan naratif “Langkah lelaki itu begitu tergesa. Seolah ada bayangan masa silam yang menghantuinya” dengan diksi yang lebih variatif daripada sekadar “Lelaki itu berjalan cepat”, berpotensi menyodorkan kedalaman psikologis. Hal ini berkontribusi pada pengayaan pengalaman estetik yang tersaji sebagai ekspresi sastrawi.

Simbolisme Naratif: Lapisan Makna yang Mendalam

Pemanfaatan subjek orang, objek benda, atau tempat untuk merepresentasikan suatu gagasan, terutama yang memiliki kandungan filosofi tinggi, seringkali dekat dengan simbolisme. Upaya ini memperkokoh eksistensi karya sastra prosa dengan usungan lapisan makna mendalam yang tersirat, sekaligus mengundang pembaca untuk melakukan tafsiran (interpretasi) yang mendalam.

Karya sastra prosa mengutarakan gagasan abstrak melalui objek atau peristiwa konkret. Gagasan estetik yang menyentuh tema kematian, kecintaan, atau keterasingan tidak selalu diekspresikan secara eksplisit, melainkan melalui simbol-simbol yang tersebar di sepanjang narasi. Subjek atau objek yang berperan sebagai simbol itu memiliki kandungan filosofi yang mengakar dalam.

Simbolisme yang direalisasikan penulis merupakan upaya cerdas agar pesan yang disampaikan kepada pembaca tidak terlalu menggurui. Oleh karena itu, penulis prosa mengkreasikan sejumlah stratifikasi makna yang dapat menerima penafsiran berlainan dari tiap pembaca.

Contohnya, simbolisme cahaya lampu hijau di seberang teluk dalam Novel The Great Gatsby (1925) karya sastrawan Amerika Serikat Francis Scott Key Fitzgerald (1896-1940), bukan sekadar lampu dermaga. Lebih dari itu, ia merupakan simbolisme ekspresi estetik tentang mengejar mimpi Amerika (chasing the American dream) yang tak pernah tergapai dan menjadi tragika asa.

Dalam Sastra Indonesia Modern, simbolisme kuat muncul dalam sejumlah karya Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum (lahir 1958). Dua karyanya yang tersohor dengan kandungan simbolisme senja adalah Cerita Pendek “Sepotong Senja untuk Pacarku” (1991) dan Novel Negeri Senja (2003), yang meraih Khatulistiwa Literary Award pada 2004.

Simbolisme senja dalam Cerita Pendek “Sepotong Senja untuk Pacarku” bukan sekadar penanda deskripsi waktu, melainkan objek riil yang menerima perlakuan surealis. Karakter utama yang dilanda rindu dan asmara berupaya “memotong senja” dan mengirimkannya kepada sang pacar sebagai bukti cinta konkret dan pengorbanan ekstrem.

Adapun Novel Negeri Senja menitikberatkan simbolisme konsep senja yang meluas dari momen personal menjadi latar sosial politik. Novel ini mendeskripsikan sebuah negeri fiktif di mana matahari senantiasa berada di ufuk barat, rotasi bumi tidak berlaku, dan suasana temaram terus mengabadi. Fabel politik ini konon merupakan sindiran terhadap kondisi masyarakat Indonesia di bawah rezim otoriter. Senja yang konstan melambangkan ketidakjelasan, ketidakpastian, atau zaman kegelapan politik, di mana para karakternya melakukan eskapisme ke realisme magis mencari makna kebebasan dalam struktur sosial yang membingungkan. Di sini, hadir simbolisasi hegemoni penguasa yang menyamarkan realitas seperti cahaya senja yang remang.

Prosa menjadi karya sastra berbobot ketika mampu mengekspresikan gagasan di permukaan narasi. Simbolisme menjadi alat perkasa untuk menyuguhkan makna spesifik atau gagasan yang lebih menyentuh nurani kemanusiaan pembaca.

Novel Moby-Dick (1851) karya sastrawan Amerika Serikat Herman Melville (1819-1891) tidak hanya menceritakan tentang paus putih. Paus itu sendiri merupakan simbol multitafsir: bisa menjadi simbol alam yang tidak terkalahkan, kejahatan, atau obsesi. Inti estetika simbolisme adalah kepiawaian suatu objek sederhana menyemburatkan kilau makna universal.

Gagasan utama atau pesan terselubung dalam prosa, yang disebut tema, seperti korupsi, cinta, kebebasan, atau perjuangan hidup, seringkali diekspresikan secara tidak langsung. Pembaca perlu menggali dan menginternalisasi nilai artistiknya.

Usungan tema diskriminasi rasial dominan dalam banyak karya Harlem Renaissance, periode kebangkitan budaya, sosial, dan seni di kalangan keturunan Afrika-Amerika pada 1920-an hingga medio 1930-an. Banyak karya sastra mereka mengeksplorasi problem sosial ini lewat citraan, simbolisme, dan plot yang menguras respons emosional dan pemahaman intelektual.

Salah satu di antaranya adalah Novel Passing (1929) karya Nellallitea Larsen (1891-1964). Novel ini mengeksplorasi tajam batasan rasial dan identitas yang semakin cair, berfokus pada fenomena personel keturunan Afrika-Amerika berkulit terang yang memilih “menyeberang” dan hidup layaknya orang kulit putih untuk mengelak dari diskriminasi dan memperoleh hak istimewa.

Passing menghidangkan kisah pertemuan kembali dua sahabat kecil, Irene Redfield dan Clare Kendry, yang memiliki perspektif berseberangan. Irene teguh dengan identitasnya sebagai perempuan kulit hitam di Harlem, sementara Clare menyamarkan identitasnya dengan menikahi lelaki kulit putih yang rasis. Melalui karakter Clare, Nella Larsen menyajikan beban kejiwaan dan risiko kehilangan jati diri akibat tekanan rasial. Novel ini juga menelanjangi fenomena rasisme internal (colorism) dalam komunitas kulit hitam itu sendiri.

Pengaturan Plot dan Sudut Pandang

Estetika dalam prosa juga tampak saat penulis menyusun waktu dan kejadian dalam rangkaian plot. Alur narasi bisa bergerak maju secara linier atau berlompatan secara fragmentaris. Struktur naratif yang mengantarkan susunan plot merupakan pernyataan estetik tentang cara kreator memandang realitas.

Alur nonlinier atau teknik arus kesadaran (stream of consciousness) sering digunakan untuk mengekspresikan gagasan estetik mengenai pikiran manusia yang kompleks atau waktu yang berjalan tidak beraturan.

Sastrawan Irlandia James Augustine Aloysius Joyce (1882-1941) melalui Novel Ulysses (1922), yang awalnya cerita bersambung di Jurnal Sastra Amerika The Little Review (1918-1920), menggunakan teknik arus kesadaran eksperimental untuk mengungkapkan ekspresi estetika tentang kehidupan sehari-hari yang kacau namun puitis di Dublin.

Untuk Sastra Indonesia Modern, Novel Ziarah (1969) karya Iwan Martua Dongan Simatupang (1928-1970) memainkan struktur naratif absurd dalam mengekspresikan gagasan naratif eksistensialisme. Inti ajaran eksistensialisme adalah manusia lahir tanpa tujuan atau makna yang telah ditentukan, kemudian menciptakan makna hidupnya sendiri melalui kebebasan memilih dan bertindak autentik, serta bertanggung jawab penuh atas pilihan itu.

Secara anumerta, Ziarah meraih Hadiah Sastra ASEAN atau SEA Write Award 1977, tujuh tahun setelah sang novelis wafat, menjadi salah satu penghargaan internasional paling awal untuk karya sastra Indonesia. Novel ini merupakan salah satu karya paling radikal dan inovatif dalam sejarah Sastra Indonesia, mengintroduksi gaya penulisan inkonvensional dan absurd, melewati batas-batas logika tradisional. Iwan Simatupang mengajak pembaca mengembara ke labirin eksistensialisme, di mana batas realitas, ingatan, dan kegilaan menjadi tipis.

Meskipun demikian, dalam pemikiran konvensional, struktur naratif dan alur (narrative structure and plot) membentuk arsitektur cerita, di mana elemen naratif tersusun secara koheren, merupakan aspek estetik yang krusial. Cara prosais memulai (eksposisi), mengembangkan (aksi meningkat), dan menyelesaikan (klimaks, resolusi) sangat memengaruhi pengalaman pembaca di dunia naratif suatu karya sastra prosa.

Pemilihan sudut pandang (point of view) narator, lazimnya orang pertama dan ketiga, dapat memengaruhi pengalaman estetik pembaca, seberapa dekat mereka dengan pikiran dan perasaan karakter, atau seberapa objektif ceritanya.

Dengan sudut pandang orang pertama, Andrea Hirata Seman Said Harun (lahir 1967) lewat Novel Laskar Pelangi (2005) mampu menyuguhkan pengalaman estetik yang berbalut keintiman dan subjektivitas. Pembaca dapat melihat dunia naratif melalui filter emosi dan pemikiran karakter utama.

Sudut pandang orang ketiga yang menjadi pilihan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) dalam Novel Bumi Manusia (1980) memberi fleksibilitas tinggi kepada pembaca untuk mengakses pikiran dan perasaan karakter utama seperti Minke, Annelies Mellema, dan Nyai Ontosoroh. Cara ini dapat menciptakan jarak objektif atau sebaliknya kedekatan emosional.

Walaupun tidak selazim orang pertama dan ketiga, ada pula sastrawan yang memanfaatkan sudut pandang orang kedua. Sastrawan Amerika Serikat John Barrett “Jay” McInerney Jr (lahir 1955) dalam Novel Bright Light, Big City (1984) terkenal dengan pemakaian sudut pandang orang kedua, mendeskripsikan kehidupan malam di Manhattan pada awal dekade 1980-an.

Eksperimen Struktur Naratif

Masih terkait dengan plot, penceritaan nonlinier juga menjadi eksperimen dalam karya sastra modern. Sejumlah karya bereksperimen dengan alur gabungan maju-mundur atau fragmen-fragmen waktu tidak berurutan, mendorong pembaca untuk menyusun makna sendiri. Teknik pembentukan plot semacam ini menghidangkan estetika kompleksitas, misteri, dan tantangan intelektual.

Novelis dan penulis esai asal Meksiko Carlos Fuentes Macías (1928-2012) melalui karya sastra pascamodern, Novel Aura (1962), terkenal sebagai genre misteri identitas dengan sudut pandang orang kedua. Ia memanfaatkan struktur nonlinier guna menebarkan ekspresi gagasan estetik mengenai realitas yang terfragmentasi atau waktu yang melingkar.

Secara totalitas, karya sastra prosa mengekspresikan gagasan estetiknya dengan cara yang kaya dan beragam. Ia memanfaatkan kebebasan bentuknya untuk membangun suatu dunia yang otonom, tempat elemen penceritaan mulai dari diksi hingga struktur plot yang kompleks, saling bahu-membahu menyelaraskan koordinasi dalam menyajikan pengalaman artistik yang unik.

Sebab, sebuah karya seni kata membukakan diri bagi penguatan peran serta aktif pembaca dalam menemukan keindahan dan makna secara optimal. Ini merupakan proses interpretasi yang tak pernah usai, sebuah dialog tanpa henti antara karya tekstual dan pembacanya, yang menyebabkan dinamika konsep estetika terus berkembang.

Suasana, Latar, dan Karakterisasi

Aspek lain yang tak kalah menarik dalam mengekspresikan gagasan estetik dalam prosa adalah kemampuan penulis membangun suasana (atmosphere) dan latar (setting). Latar dalam konteks ini bukan sekadar dekorasi atau tempat peristiwa naratif terjadi, melainkan alat untuk mengekspresikan emosi dan estetika ruang.

Penulis prosa memanfaatkan deskripsi latar guna membangun mood yang ingin diaksentuasi dalam dunia narasi. Dengan deskripsi rinci mengenai cuaca, arsitektur, atau bau suatu tempat, prosa seolah mengungsikan pembaca ke dalam kondisi psikologis tertentu.

Dalam genre karya sastra prosa gotik (gothic literature), seperti karya-karya Edgar Allan Poe (1809-1849), latar berupa rumah yang runtuh, lorong gelap, dan cuaca suram mendukung ekspresi estetik dari rasa takut, pembusukan moral, dan keindahan dalam kegelapan.

Selanjutnya, pengarakterisasian sebagai cermin gagasan karakter dalam prosa merupakan wahana bagi pengedepanan gagasan-gagasan cemerlang. Konflik batin yang berkecamuk dalam diri karakter, cara mereka berbicara, serta transformasi sifat mereka adalah cara penulis menandai ekspresi pandangan estetiknya mengenai kemanusiaan.

Karakter dalam novel atau cerita pendek seringkali mewakili gagasan filosofis penulis. Pancaran estetika itu mengemuka ketika karakter berinteraksi dengan dunianya, menciptakan drama yang menggugah empati atau pemikiran kritis.

Seperti karakter Meursault dalam Novel L’Étranger (1942) karya sastrawan Prancis Albert Camus (1913-1960). Ketidakpedulian Meursault (yang bisa jadi representasi Albert Camus sendiri) terhadap norma sosial diekspresikan melalui narasi yang dingin dan datar. Novel ini merupakan salah satu karya sastra prosa klasik yang menggarap tema eksistensialisme dan absurditas.

Sebagai penutup, tolok ukur keberhasilan karya sastra prosa terletak pada kemampuannya mengomunikasikan gagasan kompleks melalui harmoni penerapan diksi, tenunan simbol, serta arsitektur narasi yang terbangun dengan cermat. Inilah jawaban atas pertanyaan: Bagaimana gagasan estetik dalam karya sastra prosa menemukan ekspresinya?

Mureks