Malam Natal 2011 di Palangka Raya, sebuah era yang kini terasa purba namun romantis, menjadi titik balik bagi Fahruddin Fitriya. Kala itu, dering PING! dari BlackBerry Messenger (BBM) adalah teror psikologis paling mutakhir, dan WhatsApp belum menjajah kewarasan kita dengan centang birunya. Usai menyantap ‘Ayam Bersyahadat’ di kediaman Bang Anchu, ia bersama Vincen, Bang Anchu, dan Pak Umar, beranjak menuju markas besar Almarhum Topan Nanyan, sosok yang akrab disapa Bos Top.
Mereka datang bukan sebagai tamu, melainkan menyerahkan diri untuk ‘dikuliti’ isi kepalanya. Pukul 23.00 WIB, pintu terbuka. Lampu pohon Natal berkedip ritmis di sudut ruangan, menjadi saksi bisu diskusi yang akan berlangsung hingga dini hari. Toples nastar dan asbak penuh puntung rokok di meja menjadi teman setia perdebatan.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Di tengah riuh rendah perdebatan di jantung Palangka Raya itu, Fahruddin merasakan kehangatan yang menjalar di dada. Ia menyadari, kota ini telah menjadi rumah kedua dan keluarga baru baginya. Jauh dari kampung halaman di Pati, Jawa Tengah, Palangka Raya bukan lagi sekadar tempat singgah mencari nafkah, melainkan ‘rahim baru’ yang melahirkan sisi dewasanya, lengkap dengan saudara-saudara beda darah yang siap berdebat sekaligus merangkul.
Diskusi Liar: Dari Konspirasi Global hingga Kolor Hilang
Diskusi malam itu bergerak liar, menabrak batas kewajaran. Dari ketegangan membahas konspirasi Elit Global, Zionis, hingga potensi Perang Dunia III, obrolan banting setir menganalisis kasus pencurian celana kolor di jemuran warga. Di hadapan Bos Top, hilangnya kolor diperlakukan dengan takzim, setara dengan membedah pasal makar atau jatuhnya kabinet.
“Ini murni Pasal 362 KUHP atau ada unsur klenik yang tak terjangkau hukum positif?” tanya Fahruddin dan rekan-rekannya serius, sambil mencomot kue kastengel. Bagi Bos Top, tidak ada isu yang terlalu receh. “Hilangnya kedaulatan negara dan hilangnya kolor tetangga punya bobot urgensi yang sama, bedanya hanya pada angle penulisan,” tegasnya.
Wejangan Bos Top: Malpraktik Jurnalistik dan ‘Tangan Kosong’ Dahlan Iskan
Di tengah kepulan asap rokok yang makin tebal, Bos Top tiba-tiba menatap tajam Fahruddin. Mode santai dimatikan, mode ‘Mahaguru’ diaktifkan. “Fit,” tembaknya, suaranya berat membelah asap. “Wartawan itu bukan juru ketik. Kalau otakmu kosong, tulisanmu kopong. Itu namanya Malpraktik Jurnalistik!”
Ucapan itu terasa seperti tamparan intelektual bagi Fahruddin. Bos Top membongkar ‘dosa terbesar’ jurnalis daerah yang kerap menjadi manusia ‘Palugada’ (Apa Lu Mau Gue Ada) namun malas berpikir. “Narasumber, apalagi politisi itu licin, lidahnya tak bertulang. Kalau kamu datang cuma modal pertanyaan ‘gimana tanggapan bapak?’, habislah kau! Kamu cuma jadi tiang mic berjalan,” ujarnya pedas. Ia menekankan, kualitas berita tidak ditentukan oleh jawaban narasumber, melainkan oleh ketajaman pertanyaan wartawannya. Tanpa riset, wartawan hanya akan menjadi corong yang membantu menyebar kebohongan yang dibungkus rapi.
Puncaknya, sekitar pukul 03.00 WIB, Bos Top mengeluarkan ‘kartu as’ dari Dahlan Iskan. “Ingat kata Pak Dahlan,” ujarnya, bayangannya memanjang diterpa cahaya lampu hias. “Wartawan merekam itu cari aman. Wartawan mencatat itu cari selamat. Tapi… wartawan yang hebat itu datang dengan tangan kosong!”
Fahruddin sempat melongo, hampir tersedak kue nastar. Kosongan? “Kalau wawancara itu, pakai otakmu! Simak, pahami, lalu tulis dengan logikamu sendiri,” lanjut Bos Top dengan nada rendah namun menukik ke hati. “Saat tanganmu sibuk pegang alat, matamu lupa membaca gerak-gerik. Rekaman hanya menangkap suara, tapi nalarmu menangkap ‘rasa’. Itulah yang membuat tulisanmu bernyawa, bukan kaku kayak BAP polisi.”
Namun, sebagai jurnalis kawakan yang paham liciknya lapangan, Bos Top buru-buru memberi pagar pengaman. “Tapi ingat! Asas ini gugur kalau kamu liput berita sensitif, investigasi korupsi, atau isu hukum. Di situ, narasumber bisa ngeles. Kalau urusan nyawa atau penjara, rekaman adalah alat bukti sah dan saksi mahkota-mu. Tapi kalau cuma liputan feature atau humanis… matikan alatmu, nyalakan nalarmu,” pesannya.
Diskusi tuntas saat azan subuh sayup-sayup terdengar. Fahruddin pulang membelah kabut pagi Palangka Raya dengan langkah sempoyongan, bukan hanya karena kantuk, melainkan karena kepala terasa lebih berat oleh ilmu, dan hati terasa lebih penuh karena diterima sebagai bagian dari keluarga besar di tanah Dayak. Malam itu, di penghujung 2011, ia belajar satu hal penting: misteri kolor hilang harus ditulis seserius isu negara, asalkan dengan akal sehat, riset kuat, dan hati yang teguh bersyahadat pada kebenaran. Di Palangka Raya-lah, jurnalis asal Pati ini akhirnya benar-benar pulang.






