Status musafir menjadi topik penting yang kerap dibahas menjelang dan selama bulan Ramadhan. Banyak umat Muslim mempertanyakan definisi musafir, batas jarak yang menentukan status tersebut, serta perbedaannya dengan safar. Artikel ini akan mengulas secara ringkas dan jelas, merujuk pada sumber tepercaya dan Alquran.
Definisi Musafir dalam Syariat Islam
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah musafir merujuk pada seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh. Namun, dalam hukum Islam, musafir memiliki makna khusus dan aturan yang mengikat, terutama selama bulan Ramadhan.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Musafir adalah seseorang yang melakukan perjalanan keluar dari tempat tinggalnya dengan tujuan tertentu dan menempuh jarak tertentu. Dalam konteks syariat, status ini memberikan keringanan dalam menjalankan ibadah, termasuk puasa Ramadhan.
Seseorang baru dianggap sebagai musafir jika memenuhi beberapa syarat, antara lain: melakukan perjalanan bukan untuk maksiat, keluar dari batas wilayah tempat tinggal, dan menempuh jarak yang telah ditentukan oleh syariat. Status musafir ini berlaku sejak seseorang keluar dari batas kota hingga pulang kembali.
Menurut penjelasan dalam buku Panduan Musafir Adab dan Hukum Safar yang disusun oleh Divisi Terjemah Kantor Dakwah Sulay, seorang musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh dan memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai ketentuan syariat.
Batas Jarak untuk Status Musafir
Jarak perjalanan menjadi penentu penting apakah seseorang dapat disebut musafir. Pembahasan terkait batas jarak ini banyak ditemukan dalam literatur fikih dan menjadi rujukan bagi masyarakat Muslim.
Mayoritas ulama sepakat bahwa batas minimal jarak safar adalah sekitar 80 hingga 89 kilometer. Batas ini diambil dari riwayat dan pendapat sahabat Nabi yang menjadi dasar dalam menentukan status musafir.
Beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai jarak minimal. Ada yang menetapkan 80 kilometer sebagai batas minimal, sementara yang lain menilai bahwa jarak yang dianggap jauh dalam urf (kebiasaan masyarakat) juga bisa menjadi patokan. Namun, mayoritas ulama tetap menggunakan angka 80 kilometer sebagai batas resmi.
Status musafir memberikan keringanan untuk tidak berpuasa selama perjalanan, dengan syarat perjalanan tersebut memenuhi kriteria jarak. Setelah perjalanan selesai, puasa yang ditinggalkan harus diganti di hari lain sesuai ketentuan syariat.
Berdasarkan buku Panduan Musafir Adab dan Hukum Safar yang disusun oleh Divisi Terjemah Kantor Dakwah Sulay, batas minimal yang umum digunakan adalah 80 kilometer, dengan catatan perjalanan dilakukan secara syar’i dan bukan untuk hal yang dilarang agama.
Perbedaan Musafir dan Safar
Istilah musafir dan safar sering dianggap sama, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam hukum Islam. Pemahaman yang benar sangat penting, terutama ketika menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Safar berarti perjalanan itu sendiri, yaitu aktivitas berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak tertentu. Sedangkan musafir adalah orang yang sedang melakukan safar.
Perbedaan utama terletak pada subjek dan objek. Musafir adalah orangnya, sedangkan safar adalah kegiatannya. Dalam hukum Islam, status musafir muncul karena aktivitas safar yang dilakukan seseorang.
Sebagai contoh, seseorang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan jarak lebih dari 80 kilometer. Selama perjalanan, orang tersebut disebut musafir dan mendapatkan keringanan dalam melaksanakan ibadah, seperti boleh tidak berpuasa.
Di dalam buku Panduan Musafir Adab dan Hukum Safar yang disusun oleh Divisi Terjemah Kantor Dakwah Sulay, dijelaskan bahwa musafir adalah orangnya, sedangkan safar adalah aktivitas atau perjalanan yang dilakukan.
Kesimpulan dan Catatan Penting
Musafir berhak mendapatkan keringanan dalam beribadah selama Ramadhan, terutama jika perjalanan memenuhi syarat dan jarak minimal yang disepakati ulama. Jarak tempuh minimal 80 kilometer menjadi acuan umum dalam menentukan status musafir, dengan mempertimbangkan niat dan tujuan perjalanan.
Selain itu, penting memahami perbedaan antara musafir dan safar agar tidak terjadi kekeliruan dalam praktik ibadah. Memahami adab dan hukum safar akan membantu menjalankan ibadah Ramadhan dengan lebih tenang dan sesuai tuntunan agama.






