Nasional

Ma’ruf Amin Mundur dari MUI dan PKB: Menepi dari Jabatan Formal, Menguji Kekuatan Institusi dan Relasi Ulama-Kekuasaan

Advertisement

Sabtu, 27 Desember 2025 menjadi penanda penting dalam dinamika politik dan keagamaan Indonesia. Mantan Wakil Presiden Ma’ruf Amin secara resmi mengajukan surat pengunduran diri dari dua jabatan strategisnya: Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) dan struktur Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keputusan ini segera menyedot perhatian publik, mengingat posisi Ma’ruf Amin sebagai simbol persilangan antara ulama, negara, dan kekuasaan di Tanah Air.

Secara resmi, alasan yang disampaikan terdengar sederhana, yakni faktor usia dan keinginan untuk mengurangi aktivitas struktural. Ma’ruf Amin memilih istilah “uzlah”, sebuah konsep dalam tradisi Islam yang sering dipahami sebagai upaya menjaga kejernihan batin dan kebijaksanaan, terutama di usia lanjut. Dalam konteks personal, alasan ini dinilai masuk akal dan patut dihormati.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Namun, dalam lanskap politik Indonesia yang kompleks, keputusan seorang tokoh sebesar Ma’ruf Amin jarang dibaca secara tunggal. Pertanyaan besar muncul: apakah ini murni pilihan personal, ataukah ada dinamika lain yang belum sepenuhnya terungkap di balik layar?

Figur Sentral, Institusi yang Diuji

Selama puluhan tahun, Ma’ruf Amin telah menjadi figur sentral dalam berbagai institusi penting, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), MUI, hingga puncaknya sebagai Wakil Presiden RI. Ia tidak hanya sekadar pemegang jabatan, melainkan juga penentu arah dan rujukan moral, khususnya bagi kalangan Islam tradisional. Posisi ini menjadikannya simbol legitimasi politik yang kuat.

Ketergantungan institusi pada satu tokoh dominan seringkali membuat proses regenerasi kepemimpinan berjalan lambat dan rentan. Oleh karena itu, pengunduran diri Ma’ruf Amin kini justru menguji seberapa kuat MUI dan PKB sebagai institusi, bukan hanya sebagai panggung bagi figur karismatik.

Bagi MUI, jabatan Ketua Wantim bukan sekadar formalitas. Posisi ini berfungsi sebagai penjaga arah, penimbang kebijakan, sekaligus simbol otoritas keulamaan. Jika proses transisi tidak dikelola secara terbuka dan akuntabel, kekosongan kepemimpinan berpotensi memicu spekulasi, bahkan konflik internal. Regenerasi memang krusial, namun tanpa tata kelola yang jelas, proses ini bisa berubah menjadi perebutan kekuasaan.

PKB dan Tantangan Kemandirian Partai

Di tubuh PKB, pengunduran diri Ma’ruf Amin dari Dewan Syuro membawa pesan yang lebih politis. Sebagai partai yang lahir dari basis pesantren dan warga NU, PKB selama ini identik dengan figur ulama karismatik. Namun, di era politik elektoral yang semakin pragmatis, partai tidak dapat terus-menerus bergantung pada simbol semata.

Pernyataan bahwa Ma’ruf Amin akan tetap membantu PKB secara nonstruktural mengindikasikan adanya transisi peran, dari aktor formal menjadi mentor moral. Ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa PKB dituntut untuk lebih mandiri sebagai partai modern yang berbasis gagasan, kaderisasi, dan kerja organisasi, bukan sekadar legitimasi tokoh.

Apabila PKB gagal melakukan transformasi ini, setiap mundurnya tokoh besar akan selalu dibaca sebagai krisis. Padahal, partai yang matang justru ditandai oleh kemampuannya untuk tetap stabil dan relevan, meskipun figur sentral memilih untuk menepi.

Advertisement

Dilema Ulama dan Kekuasaan

Lebih jauh, langkah Ma’ruf Amin ini membuka kembali diskusi lama tentang relasi antara ulama dan kekuasaan. Sejarah Indonesia mencatat peran besar ulama dalam membangun bangsa. Namun, dalam praktik kontemporer, keterlibatan ulama dalam politik praktis sering memunculkan dilema: di mana batas antara peran moral dan kepentingan kekuasaan?

Ketika ulama terlalu dekat dengan kekuasaan, suara kritis berisiko melemah. Pandangan keagamaan pun mudah dipersepsikan sebagai pembenaran politik, bukan sebagai rambu etika. Dalam konteks ini, pengunduran diri dari jabatan struktural dapat dibaca sebagai upaya menata ulang jarak yang lebih sehat antara ulama dan kekuasaan.

Justru di luar struktur formal, otoritas moral seorang ulama seringkali justru lebih kuat. Tanpa terikat jabatan, tidak terbebani loyalitas politik, dan lebih bebas berbicara atas nama kepentingan umat, peran ulama dapat menjadi penyeimbang yang vital.

Transparansi dan Penguatan Institusi

Publik tentu tidak boleh berhenti bertanya dan menganalisis. Namun, penting untuk membedakan antara analisis kritis dan prasangka. Hingga kini, belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pengunduran diri ini dipicu oleh konflik internal atau tekanan politik tertentu. Membaca keputusan ini sebagai konspirasi tanpa dasar hanya akan memperkeruh ruang publik.

Yang lebih mendesak adalah memastikan transparansi. MUI dan PKB perlu menjelaskan secara terbuka mekanisme transisi kepemimpinan dan arah kelembagaan ke depan. Tanpa kejelasan, ruang kosong akan selalu diisi oleh spekulasi yang tidak produktif.

Di tengah budaya politik yang kerap mengagungkan jabatan dan enggan melepas kekuasaan, langkah Ma’ruf Amin justru terasa kontras. Mundur tidak selalu menjadi tanda kelemahan. Dalam banyak kasus, mundur justru merupakan bentuk tanggung jawab dan kesadaran etis yang tinggi.

Kini, makna pengunduran diri ini tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Ma’ruf Amin. Maknanya akan ditentukan oleh cara MUI dan PKB mengelola transisi ini: apakah menjadikannya momentum penguatan institusi dan regenerasi yang sehat, atau sekadar pergantian nama tanpa perubahan arah yang substansial. Dalam demokrasi yang sehat, yang harus bertahan bukan figur, melainkan nilai dan sistem yang menopangnya.

Advertisement
Mureks