Internasional

Mantan PM Perempuan Pertama Bangladesh Khaleda Zia Berpulang, Tinggalkan Jejak Demokrasi dan Kontroversi

Mantan Perdana Menteri perempuan pertama Bangladesh, Khaleda Zia, meninggal dunia pada Selasa (30/12) pagi di usia 80 tahun. Sosok yang pernah memimpin Bangladesh selama tiga periode ini dikenang atas perannya krusial dalam membawa negara Asia Selatan tersebut dari cengkeraman pemerintahan militer menuju sistem demokrasi parlementer.

Karier Politik Gemilang Pasca Tragedi

Khaleda Zia memasuki panggung politik setelah suaminya, mantan Presiden Ziaur Rahman, tewas dibunuh dalam kudeta militer pada Mei 1981. Rahman, yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada 1971, juga merupakan pendiri Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) beberapa tahun sebelum kematiannya.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Awalnya, Zia adalah seorang ibu rumah tangga tanpa pengalaman politik. Namun, ia kemudian muncul sebagai tokoh terkemuka dalam perlawanan sipil terhadap rezim militer. Dengan membentuk aliansi politik yang kuat melibatkan partai-partai sayap kiri dan kanan bersama BNP yang berhaluan tengah-kanan, Zia berhasil memimpin gerakan nasional untuk demokrasi dan memaksa rezim militer menyerahkan kekuasaan.

Puncaknya, pada 27 Februari 1991, partai yang dipimpin Zia memenangkan 140 dari 300 kursi dalam pemilihan umum nasional. Kemenangan ini mengantarkannya menjadi perdana menteri perempuan pertama di Bangladesh, menjabat antara tahun 1991-1996, serta pada periode 2001-2006.

Pemberdayaan Perempuan dan Pembangunan

Selama masa kepemimpinannya, Khaleda Zia memberikan perhatian besar pada pemberdayaan perempuan. Ia membantu meningkatkan tingkat literasi di kalangan perempuan dan memperluas peluang kerja dengan menyediakan pendidikan gratis serta beasiswa.

Program makan siang gratis bagi siswa di sekolah-sekolah di seluruh negeri, dengan bantuan donor asing, juga diperkenalkan di bawah kepemimpinannya. Upaya ini berhasil mendaftarkan jutaan perempuan ke sekolah dasar dan menengah. Zia juga berkontribusi dalam memperluas industri garmen berorientasi ekspor di Bangladesh.

Jurnalis Barbara Crossette dalam The New York Times pada November 1993 menulis, “Sekarang, sebagai Perdana Menteri, Ibu Zia, berbeda dengan Benazir Bhutto saat pertama kali menjadi Perdana Menteri Pakistan, secara agresif mempromosikan pendidikan dan pelatihan vokasional, terutama bagi perempuan, serta memperluas pinjaman skala kecil tanpa jaminan untuk meningkatkan kemandirian perempuan.”

Majalah Forbes AS, yang beberapa kali memasukkan Zia sebagai salah satu dari 100 perempuan paling berkuasa di dunia selama kepemimpinannya (2001-2006), mencatat, “dulu seorang ibu rumah tangga yang pemalu dan pendiam, Zia telah menghidupkan kembali sektor pendidikan, terutama untuk perempuan muda.”

Laila Noor Islam, seorang profesor di Universitas Dhaka, kepada Deutsche Welle (DW) mengatakan, Zia akan dikenang karena mengubah lanskap sosial dan politik Bangladesh. “Orang akan mengingatnya karena memperkenalkan sistem demokrasi parlementer di negaranya, menciptakan pabrik pakaian jadi yang berorientasi ekspor di mana ratusan ribu perempuan mendapatkan pekerjaan, memperkenalkan pendidikan dasar gratis untuk semua, dan mengembangkan sistem pemerintahan sementara untuk mengadakan pemilu nasional yang bebas dan adil,” terangnya.

Rivalitas Abadi dengan Sheikh Hasina

Sejak memasuki dunia politik, Khaleda Zia menjadi musuh bebuyutan Sheikh Hasina, pemimpin utama Partai Awami League (AL) yang berhaluan tengah-kiri dan berkuasa sejak 2008. Keduanya sering dijuluki “The Battling Begums” karena persaingan panjang mereka yang membagi arena politik negara menjadi dua kubu.

Michael Kugelman, pakar Asia Selatan di Woodrow Wilson Center for Scholars yang berbasis di Washington, kepada DW menjelaskan, “Ketika saya mendengar nama Khaleda Zia, yang terlintas di benak saya adalah ‘saingan Hasina’. Zia dan Hasina telah memiliki persaingan yang panjang dan pahit dan hal ini diperparah oleh fakta bahwa mereka telah mendominasi politik Bangladesh selama bertahun-tahun.”

Kugelman menambahkan, “Kemudian, mengingat keluarga masing-masing mereka merupakan dua dinasti politik utama negara, persaingan ini juga tertanam dalam sejarah politik inti Bangladesh.”

Tuduhan Korupsi dan Kejatuhan Politik

Menjelang akhir hidupnya, Zia sempat dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan korupsi. Pada Februari 2018, ia divonis bersalah dalam kasus korupsi, termasuk tuduhan menyalahgunakan wewenang dengan menggelapkan sekitar €240.000 (sekitar Rp3,87 miliar) dari sumbangan yang ditujukan untuk dana amal panti asuhan. Partainya, BNP, menganggap vonis tersebut bermotif politik, sebuah klaim yang dibantah oleh pemerintah Hasina.

BNP juga mengklaim bahwa selama dekade terakhir, lebih dari 180.000 kasus hukum diajukan terhadap hampir empat juta anggotanya. Data partai menunjukkan lebih dari 600 anggota diculik dan sekitar 3.000 menjadi korban pembunuhan di luar proses hukum oleh pihak berwenang selama periode yang sama.

Pada tahun 2020, hukuman penjara Zia diubah menjadi tahanan rumah. Ia kemudian dibebaskan lagi pada tahun 2024, menyusul jatuhnya pemerintahan sang rival, Sheikh Hasina.

Sebagai seorang pendukung demokrasi, Zia perlahan kehilangan pengaruh karena gagal membangun bentuk perlawanan yang kuat terhadap pemerintahan Hasina.

Michael Kugelman mengkritisi beberapa keputusan Zia. “Khaleda Zia telah membuat banyak kesalahan dalam dekade terakhir. Boikot pemilu menyebabkan hilangnya peluang. Yang lebih penting, dia memilih untuk berperan sebagai oposisi yang mengganggu dan konfrontatif tanpa mencari titik temu dan hal ini menyebabkan banyak hubungan yang rusak,” ujarnya.

Kugelman melanjutkan, “Hal ini juga menyebabkan partainya terkadang menggunakan kekerasan, yang tidak membantu perjuangannya. Selain itu, keputusannya untuk (terkadang) berkoalisi dengan partai-partai politik Islamis, terutama yang memiliki unsur garis keras, membuatnya dan partainya kehilangan dukungan dari mereka yang memperjuangkan gagasan Bangladesh yang sekuler dan moderat.”

Asif Nazrul, seorang profesor di Universitas Dhaka, percaya bahwa kejatuhan Zia juga disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk mendapatkan kepercayaan India dan diplomat asing yang dapat mendesak Hasina untuk mengadakan pemilihan nasional yang adil dan inklusif.

“Keputusan Zia untuk tidak bertemu dengan Presiden India Pranab Mukherjee di Dhaka pada tahun 2013, serta penolakannya terhadap tawaran Sheikh Hasina mengenai pemerintahan sementara pada masa pemilihan umum di tahun yang sama, telah sangat merugikan karier politiknya,” kata Nazrul kepada DW.

“Dia gagal memenangkan hati elit intelektual di Dhaka dan diplomat Barat,” sambungnya. “Kegagalannya untuk menghentikan anggota BNP dan sekutunya dalam mendukung separatis yang berperang melawan pemerintah India di masa lalu juga membuatnya semakin lemah seiring waktu.”

Namun, Nazrul juga menyoroti keteguhan Zia. “Zia bisa saja pergi ke negara lain selama ketidakpastian politik pada 2006 dan 2007, serta selama persidangannya dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Nazrul. “Dia sudah tua dan sangat sakit dan meskipun tahu kemungkinan penderitaan yang akan dialaminya, dia tidak menyerah pada pemerintah Hasina dan tidak mengambil kesempatan untuk meninggalkan negara.”

Mureks