Nasional

Libur Nataru dan Janji Makan Bergizi Gratis: Menilik Realitas Implementasi di Lapangan

Advertisement

Lampu warna-warni menghiasi sudut kota, lagu-lagu Natal mengalun merdu, dan libur panjang pasca pembagian rapor sekolah menandai jeda istimewa akhir tahun. Namun, di tengah euforia Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, satu kebutuhan dasar manusia tak ikut libur: asupan gizi anak. Pemerintah pun memastikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan tetap berjalan selama periode libur Nataru, yakni mulai 22 Desember 2025 hingga sekitar 4 Januari 2026.

Program Makan Bergizi Gratis di Tengah Libur Nataru: Antara Janji dan Tantangan Implementasi

Badan Gizi Nasional (BGN) secara resmi menegaskan bahwa program MBG tidak berhenti meskipun sekolah libur. Anak-anak dipastikan tetap menerima paket makan bergizi, bahkan saat para guru menikmati jeda panjang. Pedoman Tata Kelola yang ditetapkan Kepala BGN mengatur skema distribusi fleksibel, mencakup paket makanan siap santap untuk beberapa hari atau makanan kemasan tahan lama seperti telur, susu, dan abon.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Di mata publik, kebijakan ini merefleksikan kehadiran negara dalam menjamin kebutuhan dasar. Namun, pertanyaan konkret muncul: seberapa realistis implementasi program ini di lapangan, mengingat struktur operasional sekolah dan sumber daya manusia pendukungnya juga memasuki masa libur?

Kebijakan besar kerap terlihat mudah di atas kertas, namun implementasinya jauh lebih kompleks di lapangan. Selama libur sekolah, sebagian besar sistem pendukung MBG otomatis melambat. Guru-guru berlibur, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang biasanya beroperasi harian harus menyesuaikan ritme, dan kantor pemerintahan daerah pun cenderung lebih santai. Di tengah suasana liburan, pertanyaan muncul: bagaimana sistem dapat tetap aktif melayani di tengah ‘sunyi operasional’ semacam ini?

Pemerintah telah berupaya menjawab keresahan tersebut. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan bahwa paket MBG akan tetap dibagikan secara rutin selama Nataru. Skema fleksibel, dengan distribusi paling banyak dua kali seminggu dan kombinasi paket siap santap atau yang bisa dibawa pulang, dirancang agar anak-anak tetap menerima manfaatnya.

Dukungan kuat juga datang dari parlemen. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko, menegaskan, “keberlanjutan MBG di masa libur adalah bukti negara tidak boleh berhenti melindungi hak dasar anak atas pangan dan gizi, apalagi saat liburan panjang yang rentan menurunkan asupan gizi terutama bagi keluarga rentan.” Senada, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menggarisbawahi urgensi ini, dengan catatan penyesuaian jenis menu agar lebih praktis dan aman selama libur.

Advertisement

Namun, pertanyaan krusial kembali mengemuka: realistiskah skenario tersebut dapat terwujud secara merata di setiap daerah? Atau, apakah ini sekadar optimisme kebijakan yang belum tentu seragam di lapangan?

Realisasi implementasi kerap sangat bergantung pada kondisi spesifik di setiap daerah. Di kota besar, koordinasi antara BGN, sekolah, dan SPPG mungkin berjalan lebih mulus. Namun, di daerah dengan sumber daya manusia terbatas, distribusi paket makan selama libur berpotensi terhambat oleh berbagai faktor, seperti ketersediaan transportasi, kesiapan dapur operasional, atau preferensi keluarga yang mungkin tidak dapat membawa pulang paket karena alasan tertentu.

Lebih jauh, kebijakan MBG ini mengandalkan beberapa asumsi besar: sekolah tetap menjadi titik sentral distribusi meski libur, logistik dan pendataan berjalan lancar, serta komunikasi antar pemangku kepentingan tetap aktif. Jika salah satu asumsi ini goyah, keberlangsungan distribusi menjadi taruhan. MBG versi libur panjang juga menuntut pihak sekolah dan SPPG mengevaluasi ulang jadwal, yang bisa menjadi beban tambahan saat sebagian besar pihak beristirahat.

Upaya adaptasi ini sekaligus menimbulkan dilema baru: pemerintah harus memastikan mekanisme pelaksanaan tetap masuk akal di masa libur, demi menjaga program tidak libur. Banyak kebijakan lain menunjukkan bahwa program yang dinyatakan berjalan saat libur kerap tertatih dalam implementasi. Penyaluran bantuan sosial, layanan administrasi publik, hingga program berbasis sekolah dan komunitas sering melambat bukan karena kebijakan dihentikan, melainkan karena sumber daya manusia ikut libur, koordinasi teknis menyempit, dan data penerima berubah seiring mobilitas masyarakat selama liburan.

Keberlanjutan MBG selama Nataru menjadi cermin yang patut dicermati, bukan hanya dari niatnya, melainkan dari realitas operasional di berbagai wilayah. Mendukung gagasan bahwa anak berhak mendapat asupan gizi setiap hari adalah hal yang baik. Namun, kita juga perlu realistis: program sebesar ini tidak bisa hanya berjalan dengan sentimen positif dan pedoman fleksibel di atas kertas. Realisme implementasi—bukan sekadar niat atau pernyataan kebijakan—yang akan menentukan apakah MBG di Nataru benar-benar dapat menjawab pertanyaan krusial: siapa yang menjamin anak tetap makan? Jawabannya akan terlihat saat distribusi bergerak di kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam draf pedoman atau di ruang rapat, tetapi di tangan para petugas yang tetap beraktivitas di masa libur panjang.

Advertisement
Mureks