Kontroversi penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang terkait dengan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi perhatian publik pada Agustus 2025. Isu ini mencuat setelah lebih dari dua dekade berlalu, mendorong berbagai pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk mendesak pemerintah agar mengusut tuntas kasus tersebut.
Pemerintah bahkan disebut-sebut berhak mengambil alih 51% saham BBCA tanpa pembayaran. Sorotan utama tertuju pada dugaan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun akibat penjualan 51% saham BCA pada tahun 2002 silam.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Latar Belakang Utang BLBI BCA
Pada krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, BCA, sebagai salah satu bank swasta terbesar di Indonesia, mengalami rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun untuk menstabilkan operasionalnya. Sebagai konsekuensi, pemerintah menyita saham-saham BCA dari keluarga Salim sebagai bentuk pelunasan utang BLBI.
Dari total utang tersebut, BCA telah membayar cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan bunga sebesar Rp8,3 triliun, dengan tingkat bunga mencapai 70% per tahun kala itu. Dengan demikian, sisa utang BLBI tercatat sebesar Rp23,99 triliun (pembayaran bunga tidak mengurangi pokok), atau sekitar 92,8% dari nilai saham BCA pada masa itu.
Setelah menjadi milik pemerintah, BCA harus “disehatkan” melalui injeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) sebesar Rp60 triliun. Menurut mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, dalam tulisannya “Interpelasi BLBI Kasus BCA”, BCA saat itu sudah memiliki laba bersih sekitar Rp4 triliun.
“Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun). Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun,” tulis Kwik, dikutip pada Selasa (19/8/2025).
Utang Grup Salim dan Perbedaan Valuasi Aset
Kwik Kian Gie juga menyoroti kredit senilai Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim, mantan pemegang saham BCA. Ia menggarisbawahi bahwa ketika 92,8% saham BCA dimiliki pemerintah, utang keluarga Salim beralih menjadi utang kepada negara.
Karena Grup Salim tidak memiliki uang tunai, pelunasan dilakukan melalui skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang berwujud Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), dengan uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan.
Penilaian 108 perusahaan tersebut oleh konsorsium Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers menghasilkan angka Rp51,9 triliun, sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas. Namun, penilaian oleh Price Waterhouse Coopers (PwC) hanya mencapai Rp20 triliun.
Perbedaan signifikan ini disebut-sebut karena perbedaan pandangan makroekonomi. Konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman menilai dengan asumsi “Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal” (normalised economic and political scenarios), yang menghasilkan angka premium. Sementara itu, PwC menilai dengan asumsi “harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu”, dengan “transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan” (willing but not anxious).
Meskipun ada perbedaan valuasi yang mencolok, pemerintah saat itu menerima Rp20 triliun dari nilai aset Rp52,8 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, dengan tingkat recovery rate sekitar 34%.
Penjualan Saham BCA dan Respons DPR
Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui penjualan 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan investasi AS Farallon memenangkan tender tersebut dengan membeli saham BCA senilai US$530 juta atau sekitar Rp10 triliun pada waktu itu. Kemudian, sekitar tahun 2007, Grup Djarum mengambil alih kendali BCA sepenuhnya setelah membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment, sebuah perusahaan patungan Grup Djarum dan Farallon.
Menanggapi isu ini, Wakil Ketua DPR sekaligus Anggota DPR Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan belum mempelajari lebih lanjut. “Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu,” ujar Dasco saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Dasco menambahkan, sejauh pengetahuannya, Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara BLBI-BCA ini. “Setahu saya, ini belum ada rencana Komisi III,” katanya.
Pandangan Ekonom dan Klarifikasi BCA
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky berpendapat bahwa masalah utama dalam perkara ini bukan sekadar kepemilikan BCA saat ini, melainkan kepastian hukum dan keadilan. Ia menyoroti proses tender offer di mana Bapepam sempat meningkatkan pengaturan harga BCA ke proses hukum, namun kasus tersebut tidak dilanjutkan.
“Jadi kontroversi BLBI-BCA, ada di nilai recovery rate di bawah utang pokok obligasi rekap yang disuntikan ke BCA, akibat rendahnya harga aset dari pemegang saham lama setelah dieksekusi,” kata Yanuar saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Yanuar menambahkan, kontroversi juga terletak pada pemegang saham baru yang membeli saham BCA dengan harga murah dan tetap menikmati keuntungan karena bank tersebut telah disuntik obligasi rekap oleh pemerintah. “Jika investor baru membeli tanpa melakukan perbuatan melawan hukum, maka dia beli murah, ya sah,” ujarnya. Namun, ia menekankan, jika ada bukti perbuatan melawan hukum, perkara ini harus dibawa ke ranah hukum. Hal serupa berlaku untuk penyerahan aset dari pemegang saham BCA lama, yang harus ditindak secara hukum jika terbukti melakukan manipulasi valuasi aset, mengingat beban obligasi rekap ditanggung APBN.
Oleh karena itu, Yanuar menilai masalah ini tidak perlu diselesaikan melalui pengambilalihan saham, melainkan melalui penegakan hukum yang pasti. Jika ditemukan perbuatan melawan hukum, ia menegaskan bahwa pemegang saham yang harus ditindak, bukan entitas BCA. “Kalau saya melihatnya tak perlu lah, isu ini ke arah ambil alih. Tapi dua peristiwa terkait aset pembayaran pemegang saham lama dan pengaturan harga itu yang dilakukan proses penegakan hukum yang kredibel. Dan objek pidana perdatanya ke pemegang sahamnya, bukan ke entitas usahanya,” terang Yanuar.
Sementara itu, Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, melalui keterbukaan informasi, membantah tudingan bahwa pembelian 51% saham BCA senilai Rp5 triliun melanggar hukum karena nilai pasar BCA saat itu dinilai sekitar Rp117 triliun. “Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” sebut I Ketut.
Ia mengklaim bahwa pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp10 triliun. “Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun. Dengan demikian, nilai akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” lanjut I Ketut.
Manajemen BCA juga menegaskan bahwa tender tersebut dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui BPPN secara transparan dan akuntabel. Terkait informasi bahwa BCA memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya, I Ketut menyatakan hal itu tidak benar. “Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” ungkapnya.






