Di tengah gelombang percepatan digitalisasi pemerintahan, agenda standarisasi sistem menjadi prioritas utama negara. Namun, di balik semangat integrasi tersebut, muncul pertanyaan krusial: apakah standarisasi justru berisiko membungkam inovasi lokal?
Otonomi daerah, yang sejak era reformasi menjadi fondasi demokratisasi dan efektivitas pelayanan publik, kini menghadapi ujian serius di era digital. Dorongan standarisasi dari pemerintah pusat, yang bertujuan untuk efisiensi dan interoperabilitas, berpotensi menyempitkan ruang kreativitas daerah. Digitalisasi, yang seharusnya menjadi instrumen pembebasan inovasi, justru terancam menjelma sebagai mekanisme penyeragaman baru.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Standarisasi Digital dan Ilusi Efisiensi
Narasi besar transformasi digital pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bertumpu pada integrasi. Berbagai inisiatif seperti Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), Satu Data Indonesia, Identitas Kependudukan Digital, hingga platform nasional layanan publik digerakkan dengan semangat efisiensi dan pengendalian.
Secara normatif, tujuan ini sulit dibantah. Fragmentasi sistem antar daerah memang kerap menimbulkan pemborosan anggaran, duplikasi aplikasi, dan rendahnya interoperabilitas data. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan berulang kali mencatat inefisiensi belanja Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pemerintah daerah akibat pengembangan aplikasi yang tidak berkelanjutan. Dari sudut pandang ini, standarisasi tampak sebagai solusi rasional yang diperlukan.
Namun, masalah muncul ketika standarisasi diterjemahkan secara sempit sebagai penyeragaman penuh, baik dari sisi aplikasi, proses bisnis, hingga indikator kinerja. Akibatnya, banyak pemerintah daerah diposisikan hanya sebagai pengguna akhir sistem pusat, tanpa ruang modifikasi yang berarti. Inovasi lokal yang sebelumnya lahir dari konteks kebutuhan warga setempat, kini dipaksa menyesuaikan diri dengan desain nasional yang sering kali tidak sensitif terhadap realitas lapangan.
Contoh paling nyata terlihat pada layanan digital sektor kesehatan, pendidikan, dan perizinan. Daerah dengan keterbatasan infrastruktur digital dipaksa mengadopsi sistem yang kompleks, sementara daerah maju yang telah mengembangkan solusi inovatif justru diminta meninggalkan sistemnya demi integrasi nasional. Efisiensi administratif mungkin tercapai, tetapi efektivitas layanan bagi warga justru berpotensi menurun.
Lebih jauh, ilusi efisiensi ini sering mengabaikan biaya sosial dan institusional. Ketika daerah kehilangan ruang bereksperimen, kapasitas inovatif birokrasi lokal melemah. Aparatur daerah tidak lagi terdorong untuk memahami masalah warganya secara mendalam, melainkan sekadar memastikan kepatuhan sistem.
Otonomi Digital dan Masa Depan Inovasi Daerah
Esensi otonomi daerah bukan sekadar desentralisasi kewenangan administratif, melainkan pemberian ruang bagi daerah untuk merespons kebutuhan publik secara kontekstual. Dalam era digital, otonomi ini seharusnya berevolusi menjadi otonomi digital, yakni kemampuan daerah merancang, menyesuaikan, dan mengembangkan solusi digital sesuai karakter wilayahnya.
Faktanya, banyak inovasi pelayanan publik terbaik di Indonesia justru lahir dari daerah, bukan dari pusat. Mulai dari sistem layanan terpadu berbasis desa, aplikasi pengaduan publik lokal, hingga pemanfaatan data spasial untuk penanggulangan kemiskinan dan bencana. Inovasi-inovasi ini muncul karena adanya ruang diskresi dan keberanian bereksperimen di tingkat lokal.
Masalahnya, kerangka kebijakan digital nasional belum sepenuhnya mengakui nilai strategis inovasi lokal. Pendekatan top-down masih dominan, dengan asumsi bahwa pusat memiliki kapasitas teknokratik terbaik. Padahal, inovasi pelayanan publik tidak selalu lahir dari kecanggihan teknologi, melainkan dari kedekatan dengan masalah warga.
Jika standarisasi digital terus dipaksakan tanpa mekanisme fleksibilitas, Indonesia berisiko mengalami kemacetan inovasi. Daerah menjadi pasif, bergantung pada pusat, dan kehilangan insentif untuk membangun kapasitas digitalnya sendiri. Dalam jangka panjang, ini justru memperlebar kesenjangan kualitas layanan antar wilayah.
Lebih berbahaya lagi, penyeragaman digital berpotensi menciptakan ketergantungan struktural. Ketika seluruh sistem kritis daerah bergantung pada platform pusat atau vendor tertentu, risiko kegagalan sistem, kebocoran data, dan lemahnya akuntabilitas semakin besar. Otonomi daerah bukan hanya soal kewenangan, tetapi juga soal ketahanan institusional.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Agar transformasi digital tidak berujung pada pemiskinan inovasi daerah, beberapa langkah kebijakan perlu ditempuh secara serius:
- Pemerintah pusat perlu membedakan secara tegas antara standar minimum nasional (data, keamanan, interoperabilitas) dan ruang inovasi daerah (desain layanan, fitur, pendekatan). Standar harus menjadi fondasi, bukan belenggu.
- Sistem nasional harus dirancang modular dan terbuka, memungkinkan daerah mengembangkan fitur tambahan tanpa melanggar standar inti. Ini akan mendorong kolaborasi, bukan kepatuhan semata.
- Skema Dana Insentif Daerah (DID) dan penilaian kinerja perlu memberi bobot lebih pada inovasi digital yang berdampak nyata, bukan sekadar kepatuhan pada sistem pusat.
- Investasi pada Sumber Daya Manusia (SDM), tata kelola data, dan kepemimpinan digital di daerah harus menjadi prioritas. Otonomi digital tidak mungkin terwujud tanpa birokrasi lokal yang kompeten dan percaya diri.
- Perumusan kebijakan digital nasional harus melibatkan pemerintah daerah sejak awal, bukan sekadar sebagai objek implementasi. Pendekatan ko-produksi akan meningkatkan relevansi dan keberlanjutan kebijakan.
Transformasi digital seharusnya memperkuat negara dari pinggiran, bukan hanya dari pusat. Otonomi daerah di era digital bukan penghambat integrasi nasional, melainkan prasyarat bagi negara yang adaptif, inovatif, dan berkeadilan. Standarisasi memang perlu, tetapi inovasi lokal adalah napas panjang masa depan pemerintahan Indonesia.






