Konflik Yaman yang berkepanjangan kini memasuki babak baru yang jauh lebih rumit. Perang saudara di negara tersebut telah berubah menjadi panggung tarik-menarik geopolitik antara dua sekutu tradisional Arab, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Gejolak yang awalnya pergulatan internal kini mengarah pada prospek terpecahnya Yaman menjadi dua wilayah politik.
Ketegangan Saudi-UEA di Balik Kemenangan Separatis
Konflik yang memuncak pada akhir tahun 2025 ini bermula dari tarik-menarik kekuasaan lokal di Yaman. Situasi berubah menjadi koalisi bersenjata ketika Dewan Transisi Selatan (STC), yang didukung oleh UEA, meraih serangkaian kemenangan cepat di wilayah timur Yaman. Provinsi kaya minyak seperti Hadramaut dan Al Mahra menjadi target utama STC.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Dukungan UEA secara signifikan mengubah keseimbangan kekuatan di lapangan. Angkatan bersenjata STC, yang didukung dengan pelatih, sumber daya, dan logistik dari Abu Dhabi, berhasil mengambil alih wilayah luas. Wilayah tersebut sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah Yaman yang diakui internasional dan jaringan yang setia kepada Riyadh.
Sukses teritorial ini memicu kecemasan mendalam di kalangan elite Saudi. Riyadh selama ini menganggap dirinya sebagai kekuatan dominan di Yaman dan penjamin stabilitas di Semenanjung Arab. Ekspansi STC dilihat sebagai tantangan serius terhadap kepemimpinan regional Arab Saudi.
Riyadh bahkan mengeluarkan peringatan keras bahwa dominasi militer STC di timur Yaman dapat memicu lebih banyak konflik dan ketidakstabilan. Ketegangan antara sekutu dalam koalisi anti-Houthi ini kembali mencuat, bahkan hampir menjadi bentrokan terbuka antara pasukan yang loyal kepada kedua negara Arab tersebut.
Ini bukan sekadar perselisihan kecil. Kedua negara Arab tersebut kini berada dalam posisi yang saling berhadapan secara langsung di medan perang Yaman. UEA, yang sejak dulu berperan besar dalam konflik Yaman, tampak fokus pada peta politik lokal. Mereka memperkuat pasukan STC sebagai kekuatan otonom di selatan dan timur Yaman. Sementara itu, Saudi, yang selama ini menjadi kekuatan dominan dalam koalisi Arab di Yaman, merasa terancam oleh langkah UEA yang memperkuat pasukan pro-UEA sampai hampir mengambil alih keseluruhan wilayah strategis di timur.
Potensi Negara Baru dan Pergeseran Strategi Teluk
Teritori yang kini dikuasai oleh STC memiliki makna strategis luar biasa secara geopolitik. Provinsi Hadramaut, misalnya, mencakup sekitar 36% wilayah Yaman dan merupakan sumber cadangan minyak terbesar negara itu. Selain itu, wilayah ini juga memiliki pelabuhan-pelabuhan vital seperti Mukalla, al-Shihr, dan terminal minyak al-Dhabba. Ini bukan wilayah pinggiran, melainkan inti ekonomi yang mampu menopang keberlangsungan negara baru jika benar-benar memisahkan diri.
Dengan kemenangan militer STC di wilayah-wilayah ini, teori pembagian Yaman menjadi dua negara bukan lagi sekadar gerakan ideologis, melainkan makin dipandang sebagai realitas yang bisa terjadi. Hal ini menjadi kekhawatiran utama Riyadh.
Para analis regional memperingatkan bahwa kemenangan militer demi kemenangan militer yang diraih oleh STC dapat menciptakan realitas baru yang tak bisa diabaikan: dua Yaman. Satu di bawah pengaruh Saudi di utara dan satu lagi di bawah pengaruh UEA di selatan. Konflik Yaman kali ini tak sekadar perang internal. Ini juga refleksi rivalitas geopolitik yang lebih besar di mana Saudi dan UEA, dua sekutu yang pernah berdiri berdampingan dalam koalisi militer, kini menemukan diri mereka berselisih tajam mengenai masa depan negara tetangga yang hancur oleh perang.
Saudi melihat dirinya sebagai penjaga status quo regional, sementara UEA tampak lebih pragmatis, mencoba menciptakan sekutu otonom yang memiliki legitimasi dan kemampuan memerintah sendiri. Kedua pendekatan ini saling bertentangan. Pergeseran ini juga mencerminkan perubahan strategi di dunia Arab. Perlahan tapi pasti, negara-negara Teluk yang pernah berpandangan seragam terhadap konflik luar kini memiliki tujuan yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Implikasi Geopolitik Global
Jika Yaman benar-benar terbelah menjadi dua negara, dampaknya tidak akan terbatas pada Semenanjung Arab saja. Terbelahnya Yaman akan mengubah peta aliansi militer Teluk, memengaruhi jalur pelayaran strategis di Laut Merah, dan membuka peluang intervensi asing yang lebih luas. Hal ini juga akan menambah kompleksitas perang melawan ekstremisme di kawasan.
Lebih dari itu, perang saudara yang terus meluas juga bisa merembet, melibatkan kembali aktor global yang punya kepentingan di Timur Tengah, dari Amerika Serikat dan China hingga Uni Eropa. Saat ini, negosiasi dan diplomasi terus berjalan di tengah ledakan senjata. Namun, dalam setiap upaya diplomasi, ada bayangan dua Yaman yang berdiri sebagai entitas terpisah di peta dunia. Dua negara yang lahir bukan karena referendum damai, melainkan akibat kekuatan senjata dan ambisi geopolitik.
Apakah Yaman akan tetap utuh? Atau perang baru ini justru menjadi momen perpecahan yang tak terhindarkan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal jelas, konflik Yaman 2025 bukan lagi sekadar pertempuran domestik. Ini adalah simbol pergulatan kekuasaan dua pemain besar Arab yang kini tengah menulis ulang peta sejarah kawasan Teluk dan Timur Tengah.






