Nasional

Kepala Desa Rentan Kalah di PTUN: Jebakan ‘Tindakan Faktual’ dan Urgensi Kepatuhan Hukum Administrasi

Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya hingga penghujung tahun 2025 menunjukkan tren mengkhawatirkan bagi Pejabat Tata Usaha Negara (TUN), khususnya Kepala Desa. Fenomena gugatan di Desa Gambirono dengan nomor perkara 175/G/TF/2025 dan Desa Watukarung dengan nomor 169/G/TF/2025 menjadi sorotan utama. Menurut akademisi dan pengajar Hukum Administrasi Negara, Dr. Basuki Kurniawan, kasus-kasus ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras akan perubahan paradigma hukum di Indonesia.

Dr. Basuki menjelaskan bahwa era di mana pejabat bisa bertindak sewenang-wenang tanpa surat keputusan (SK) telah berakhir. Pejabat kini tidak lagi dapat berlindung di balik argumen, “Saya kan tidak mengeluarkan surat (SK), jadi tidak bisa digugat.” Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, legalitas tindakan fisik tanpa surat perintah, yang dikenal sebagai “Tindakan Faktual” (Feitelijke Handelingen), kini dapat diuji di pengadilan.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Bukan Hanya Soal Kertas, Tapi Soal Perbuatan Konkret

Secara doktrinal, Tindakan Administrasi Pemerintahan mencakup perbuatan konkret pejabat, baik untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu. Berbeda dengan Keputusan (Besluit) yang berbentuk dokumen tertulis, Tindakan Faktual adalah aksi nyata di lapangan yang memiliki dampak hukum.

Sebagai contoh, Dr. Basuki menggambarkan skenario yang sering terjadi di tingkat akar rumput: seorang pejabat memerintahkan pembongkaran warung warga tanpa surat perintah resmi. Atau, seorang Kepala Desa menghentikan proyek pembangunan yang telah berjalan tanpa dasar hukum tertulis yang jelas.

Dulu, tindakan “main otot” semacam ini sulit dibawa ke PTUN karena tidak ada objek gugatan berupa dokumen tertulis. Namun, pasca-berlakunya UU 30/2014 juncto Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019, perbuatan fisik tersebut kini menjadi objek hukum yang sah untuk diseret ke meja hijau.

Mengapa Pejabat Harus Ekstra Hati-Hati?

Sebagai praktisi dan akademisi, Dr. Basuki Kurniawan mengidentifikasi dua titik lemah yang sering diabaikan oleh para pejabat, yang membuat mereka rentan terhadap gugatan:

  • Perluasan Objek Gugatan: Setiap langkah konkret pejabat di lapangan kini dianggap sebagai objek hukum. Kegagalan memahami batasan ini dapat membuat pejabat rentan dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang (Detournement de pouvoir).
  • Kepatuhan pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB): Pasal 7 UU 30/2014 mewajibkan setiap tindakan pemerintahan berlandaskan pada AAUPB. Tanpa kecermatan dan dasar wewenang yang kuat, tindakan fisik yang sepele sekalipun dapat membatalkan kewibawaan jabatan.

Urgensi Mitigasi: Belajar dari Gambirono dan Watukarung

Gugatan yang muncul di Desa Gambirono dan Watukarung harus dipandang sebagai “pembelajaran mahal” bagi para pejabat. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa masyarakat kini semakin melek hukum dan memahami hak-hak mereka. Mereka tahu bahwa tindakan sewenang-wenang pejabat, meskipun tanpa SK, tetap bisa dipatahkan di pengadilan.

Dr. Basuki Kurniawan memberikan catatan strategis bagi para Kepala Desa dan Pejabat Daerah: tertib administrasi harus selalu mendahului tindakan fisik. Ia menekankan pentingnya tidak bertindak tanpa dasar aturan, baik itu Peraturan Desa (Perdes) maupun SK, yang jelas. Memahami UU 30/2014 kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan primer untuk menjaga marwah jabatan.

Membangun birokrasi yang tidak hanya berani bertindak, tetapi juga cerdas secara administrasi, menjadi kunci untuk pemerintahan yang lebih akuntabel dan berintegritas.

Mureks