Biara Santo Hilarion, salah satu situs Kristen tertua di wilayah Asia Barat Daya dan Afrika Utara, kini hanya menyisakan fondasinya di daerah Tell Umm Amer, desa Nuseirat, Gaza, Palestina. Keindahan bangunannya yang berasal dari abad keempat hingga kedelapan masih terlihat dari lantai keramik bermotifkan mosaik geometris, bunga, dan hewan yang rumit.
Sisa-sisa pusat gerejawi yang terdiri dari tiga gereja, ruang bawah tanah yang besar, dan ruang makan, serta kompleks penginapan dengan pemandian air panas yang berdekatan, masih dapat dikenali. Biara ini awalnya dibangun di gurun yang sepi, namun kemudian menjadi tempat persinggahan berbagai praktik keagamaan dan budaya di masa lalu.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Didirikan pada abad keempat oleh Santo Hilarion, seorang biarawan yang dianggap sebagai pendiri monastisisme Palestina, kini kawasan Nuseirat telah berubah menjadi salah satu kamp pengungsi bagi warga Palestina. Invasi Israel ke Gaza dalam dua tahun terakhir tidak hanya menghancurkan kehidupan warga, tetapi juga hampir seluruh bangunan dan artefak budaya di sana, termasuk Biara Santo Hilarion.
Kerusakan Warisan Budaya dan Kecaman Internasional
Laporan Al Jazeera menyebutkan bahwa selain meningkatnya jumlah korban jiwa, pemboman Israel telah menghancurkan puluhan situs warisan budaya dan barang antik Palestina di Gaza. Serangan ini dikecam keras oleh kelompok hak asasi manusia internasional.
Komite Antar Pemerintah untuk Perlindungan Properti Budaya dalam Kasus Konflik Bersenjata bahkan memberikan perlindungan tambahan sementara kepada situs biara tersebut setelah adanya laporan kerusakan akibat konflik. Pada Januari 2024, 92 hari setelah agresi Israel, Kelompok Regional Arab di Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) menyatakan lebih dari 60% situs warisan budaya terdaftar di Gaza telah hancur akibat pemboman Israel.
Kementerian Pariwisata dan Purbakala Gaza menyampaikan kecaman keras setelah serangan udara Israel pada 8 Desember 2023. “Kejahatan menargetkan dan menghancurkan situs arkeologi seharusnya mendorong dunia dan UNESCO untuk bertindak guna melestarikan warisan peradaban dan budaya yang agung ini,” kata Kementerian Pariwisata dan Purbakala Gaza.
Afrika Selatan juga membawa Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) dengan tuduhan kejahatan serupa. Dalam gugatan yang disidangkan, Afrika Selatan menyatakan, “Israel telah merusak dan menghancurkan banyak pusat pembelajaran dan budaya Palestina”, termasuk perpustakaan, situs keagamaan, dan tempat-tempat bersejarah kuno.
Upaya Perlindungan dan Status Warisan Dunia UNESCO
Situs bersejarah Biara Santo Hilarion sebelumnya terkubur selama beberapa abad setelah gempa melanda kawasan itu pada abad ke-7. Para arkeolog Palestina kemudian memulai penggalian pada tahun 1990-an. Pada tahun 2010, tindakan perlindungan darurat dimulai oleh tiga kelompok di Gaza untuk melindunginya dari hujan lebat yang mengancam akan menghancurkan mosaik dan sisa-sisa arkeologisnya.
Pada tahun 2012, organisasi advokasi warisan budaya World Monuments Fund memasukkan biara tersebut dalam daftar dua tahunan situs warisan global yang membutuhkan perlindungan. Puncaknya, Komite Warisan Dunia UNESCO, yang mengadakan pertemuan di New Delhi, India, pada 2023, telah memutuskan untuk memasukkan situs ‘Biara Santo Hilarion/Tell Umm Amer’ di Palestina secara bersamaan ke dalam Daftar Warisan Dunia dan Daftar Warisan Dunia yang Terancam Punah.
Keputusan ini mengakui nilai situs tersebut dan kebutuhan mendesak untuk melindunginya dari bahaya. Mengingat ancaman terhadap situs warisan budaya ini yang ditimbulkan oleh konflik yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, Komite Warisan Dunia menggunakan prosedur pendaftaran darurat yang diatur dalam Konvensi Warisan Dunia. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, 195 Negara Pihak berkomitmen untuk menghindari tindakan yang disengaja yang kemungkinan akan menyebabkan kerusakan langsung atau tidak langsung pada situs ini, dan untuk membantu dalam perlindungannya. Pencantuman dalam Daftar Warisan Dunia yang Terancam Punah secara otomatis membuka pintu bagi peningkatan mekanisme bantuan teknis dan keuangan internasional untuk menjamin perlindungan situs tersebut dan, jika perlu, membantu memfasilitasinya rehabilitasinya.
Kisah Sang Pertapa dari Gaza: Santo Hilarion
Santo Hilarion dikenal sebagai sang pertapa dari Gaza. Tradisi gereja Ortodoks menyebutnya Hilarion Agung. Britannica menulis, sebagian besar pengetahuan tentang Hilarion berasal dari kisah hidupnya yang semi-legendaris dan dihiasi secara retoris, yang ditulis sekitar tahun 391 oleh seorang sarjana Alkitab Latin Santo Hieronimus. Ia menggunakan materi dari Uskup Epifanius dari Constantia (sekarang Siprus), seorang teolog-kronikus berpengaruh abad ke-4.
Namun, dalam catatan Britannica, sebagian sejarah hidup Hilarion dilebih-lebihkan untuk memuliakan monastisisme Palestina. Oleh karena itu, meskipun memiliki inti sejarah, seringkali sulit untuk menentukan fakta-faktanya secara pasti.
Hilarion lahir pada tahun 291 di Desa Thabata, Gaza, dari keluarga yang bukan Kristen. Saat remaja, ia bahkan disebutkan bukan seorang yang percaya Tuhan. Namun, ketika memutuskan pergi ke Mesir untuk sekolah, ia belajar iman Kristiani dan pada usia 15 tahun, ia dibaptis oleh seorang rahib bernama Antonius. Pertobatannya membawanya untuk semakin akrab dengan Tuhan.
Setelah perkenalannya dengan Antonius, Hilarion memutuskan untuk menjadi seorang pertapa di sebuah gurun sunyi. Mulanya dia hanya membuat gubuk sederhana di sana hingga akhirnya menjadi bangunan permanen setelah banyak didatangi para peziarah. Hilarion kembali ke Gaza pada usia 15 tahun di tahun 306 Masehi. Ia menjalankan aturan pertapaan yang ketat berupa puasa dan melantunkan doa-doa mazmur Perjanjian Lama, serta menganyam keranjang dari alang-alang untuk mencari nafkah, hanya memiliki pakaian biarawan yang ia wariskan kepada seorang rekannya setelah kematiannya.
Catatan menyebutkan dia sangat pandai dalam menyembuhkan orang sakit dan kerasukan setan. Kisah mujizat-mujizatnya semakin tersebar yang mengundang orang-orang untuk mendatanginya. Mujizat-mujizatnya yang terkenal antara lain menyembuhkan seorang wanita dari Suriah yang telah mandul selama 15 tahun, menyembuhkan tiga orang anak dari sakit parah, menyembuhkan kusir yang lumpuh, dan mengusir setan.
Setelah mendirikan biara di Gaza, pada usia ke-65 tahun, Hilarion kembali berkelana mencari kedamaian dan ketenangan. Ia bermigrasi ke pusat biara di Thebes, Mesir, kemudian melalui Afrika Utara dan Sisilia, dan akhirnya menetap di Siprus. Di Siprus pula dia bertemu dengan muridnya yang di kemudian hari menjadi Uskup Siprus, yaitu Epifanius. Seperti sang guru, Epifanius dibaptis dan menjadi murid Santo Hilarion, lalu setelah memasuki biara, ia menjalani kehidupan monastik dan menyibukkan diri dengan menyalin buku-buku Yunani. Hilarion meninggal di Siprus dalam usia 80 tahun pada sekitar 371 Masehi.






