Pengakuan sepihak Israel terhadap Republik Somaliland sebagai negara merdeka pada 26 Desember 2025 menandai babak baru turbulensi geopolitik di kawasan Afrika Timur. Langkah ini bukan sekadar isu bilateral antara Israel dan Somaliland, melainkan juga berpotensi mengguncang fondasi kedaulatan Somalia, stabilitas Tanduk Afrika, serta arsitektur keamanan internasional secara lebih luas.
Dalam perspektif teori hubungan internasional, khususnya aliran realisme dan institusionalisme liberal, pengakuan negara bukanlah tindakan netral. Ia merupakan instrumen politik kekuasaan yang sarat kepentingan strategis. Pengakuan Israel terhadap Somaliland mencerminkan kalkulasi geopolitik yang melampaui konteks Afrika, dan berkelindan erat dengan dinamika Timur Tengah serta konflik Palestina.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Latar Belakang Somaliland dan Pelanggaran Hukum Internasional
Somaliland sendiri merupakan wilayah semi-gurun di sepanjang pantai Laut Merah Somalia, dengan luas sekitar 177.000 kilometer persegi dan populasi sekitar 5,7 juta jiwa. Wilayah ini memiliki sejarah kolonial unik sebagai bekas protektorat Inggris, yang sempat merdeka singkat pada 1960 sebelum bergabung dengan Somalia.
Proklamasi kemerdekaan ulang pada 1990 lahir dari konflik internal Somalia, bukan dari proses hukum internasional yang sah. Dalam kerangka hukum internasional modern, prinsip territorial integrity dan uti possidetis juris menjadi fondasi utama pengakuan negara.
Pengakuan Israel terhadap Somaliland secara terang-terangan melanggar prinsip ini karena mengabaikan kedaulatan Republik Federal Somalia yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Inilah sebabnya kecaman datang dari Indonesia, Arab Saudi, dan lebih dari 20 negara bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Vahd Nabyl,
“menegaskan penolakan Indonesia”
terhadap pengakuan tersebut. Pernyataan ini mencerminkan konsistensi politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang sejalan dengan konstitusi untuk menolak penjajahan dan segala bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain.Dampak dan Respons Internasional
Dari sudut pandang politik Afrika, pengakuan sepihak atas Somaliland membuka preseden berbahaya. Afrika memiliki sejarah panjang konflik disintegratif pascakolonial, dari Sudan Selatan hingga konflik separatis di Sahel. Uni Afrika selama ini secara konsisten menolak perubahan batas negara secara unilateral demi mencegah fragmentasi regional.
Langkah Israel juga tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi strategis di Laut Merah dan Tanduk Afrika. Wilayah ini merupakan jalur vital perdagangan global, keamanan energi, dan militerisasi kekuatan asing. Dengan mengakui Somaliland, Israel memperoleh pijakan geopolitik baru yang berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan regional.
Sejumlah analis melihat pengakuan ini sebagai bagian dari misi terselubung untuk memfasilitasi relokasi paksa warga Palestina, sebuah skenario yang menimbulkan keprihatinan serius dalam perspektif hukum humaniter internasional. Jika benar, Afrika berisiko dijadikan ruang substitusi konflik Timur Tengah.
Dalam teori critical geopolitics, tindakan semacam ini menunjukkan bagaimana negara kuat memanfaatkan wilayah rapuh sebagai arena eksperimen kekuasaan global. Somalia, yang masih berjuang keluar dari konflik berkepanjangan, menjadi korban paling nyata dari politik pengakuan selektif tersebut.
Dampak pengakuan Israel terhadap Somaliland tidak hanya bersifat simbolik. Ia berpotensi memicu eskalasi konflik bersenjata, memperkuat kelompok milisi, dan melemahkan legitimasi Pemerintah Federal Somalia. Stabilitas Laut Merah pun terancam, dengan implikasi langsung terhadap keamanan pelayaran internasional.
Kondisi ini beririsan langsung dengan ketegangan global, termasuk tragedi kemanusiaan di Gaza. Ketika konflik regional saling terhubung, instabilitas di Afrika Timur bukan lagi isu lokal, melainkan ancaman terhadap perdamaian dunia.
Peran Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Regional
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia jelas memiliki tanggung jawab moral dan diplomatik untuk bersuara. Politik luar negeri bebas aktif menempatkan Indonesia bukan sebagai penonton, melainkan sebagai mediator dan penjaga norma internasional.
Langkah pertama yang perlu ditempuh Indonesia adalah mendorong dialog politik inklusif antara Pemerintah Federal Somalia dan otoritas Somaliland. Pendekatan ini sejalan dengan teori resolusi konflik Afrika yang menekankan rekonsiliasi internal ketimbang legitimasi eksternal.
Selain itu, Indonesia perlu mengoptimalkan diplomasi multilateral melalui kerja sama dengan negara-negara kunci, seperti Turki, Mesir, dan Arab Saudi. Koalisi negara-negara OKI harus diperkuat untuk menolak normalisasi praktik pengakuan sepihak.
Peran Uni Afrika juga harus didorong secara aktif. Dalam konteks Afrika, legitimasi regional sering kali lebih efektif daripada tekanan global yang bersifat koersif. Indonesia dapat berperan sebagai jembatan diplomasi antara Afrika, dunia Islam, dan komunitas internasional.
Penolakan terhadap intervensi asing harus menjadi prinsip utama. Pengalaman Afrika menunjukkan bahwa intervensi eksternal yang mengabaikan konteks lokal justru memperpanjang konflik dan memperdalam krisis kemanusiaan.
Secara normatif, Indonesia harus konsisten membela prinsip kedaulatan, keutuhan wilayah, dan penyelesaian damai sengketa. Upaya memecah Somalia tidak akan menghasilkan stabilitas, tetapi menciptakan episentrum konflik baru yang merambat lintas kawasan. Pembiaran terhadap disintegrasi negara-negara Muslim hanya akan memperkuat politik pecah belah global. Dalam konteks ini, sikap tegas Indonesia bukan hanya soal Somalia atau Somaliland, melainkan juga tentang menjaga tatanan internasional yang adil, bermartabat, dan berlandaskan hukum, demi perdamaian Afrika, dunia Islam, dan kemanusiaan secara keseluruhan.




