Relasi antara Islam dan negara kerap menjadi diskursus yang tak kunjung usai, khususnya di Indonesia. Perdebatan ini seringkali memunculkan dua kutub pandangan: satu mendambakan formalisme agama dalam struktur negara, sementara yang lain menginginkan negara netral dengan memisahkan urusan privat agama dari ruang publik. Namun, sejatinya Islam tidak pernah menawarkan cetakan kaku tentang bentuk negara. Agama ini justru memberikan ‘ruh’ berupa nilai-nilai universal yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Substansi di Atas Formalisme
Dalam tradisi politik Islam, Al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah secara spesifik menetapkan bentuk negara, apakah itu khilafah, imarah, atau republik. Islam justru lebih menekankan pada substansi nilai-nilai daripada sekadar label formal.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Sejarah mencatat dinamika luar biasa, mulai dari sistem musyawarah atau ‘syura’ pada masa Khulafaur Rasyidin hingga model negara-bangsa (nation-state) modern saat ini. Titik temu krusial terletak pada prinsip ‘al-mashlahah al-‘ammah’ atau kemaslahatan umum.
Artinya, bentuk negara apa pun, selama mampu mewujudkan keadilan (‘al-’adl’) dan menjamin hak-hak dasar rakyatnya, telah menjalankan karakter esensial Islam. Ini menunjukkan bahwa esensi Islam dapat terwujud dalam berbagai sistem pemerintahan.
Maqasid Syariah: Jembatan Menuju HAM Modern
Dikotomi antara hukum Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) modern seringkali muncul. Namun, Islam telah lama memperkenalkan konsep ‘Maqasid Syariah’ atau tujuan-tujuan syariat, yang dipopulerkan oleh Imam Syatibi.
Prinsip-prinsip ini meliputi perlindungan jiwa (‘hifz an-nafs’), akal (‘hifz al-‘aql’), harta (‘hifz al-mal’), keturunan (‘hifz an-nasl’), dan agama (‘hifz ad-din’). Kelima prinsip ini merupakan cerminan nyata dari hak asasi manusia yang kini diakui secara internasional.
Negara yang berkarakter Islam adalah negara yang menjamin kebebasan beragama tanpa paksaan, sesuai dengan prinsip ‘la ikraha fid-din’. Negara tersebut juga harus memberikan ruang bagi perkembangan intelektualitas.
Dalam konteks ini, negara hukum modern yang menjamin kesetaraan di depan hukum (equality before the law) sebenarnya sedang mempraktikkan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Musyawarah dan Demokrasi: Dua Sisi Mata Uang
Karakter utama negara dalam Islam adalah ‘asy-syura’ atau musyawarah. Dalam lanskap politik modern, prinsip musyawarah ini menemukan bentuknya dalam sistem demokrasi.
Mekanisme seperti parlemen, pemilihan umum, dan sistem check and balances merupakan manifestasi dari nilai musyawarah tersebut. Islam memandang pemimpin bukan sebagai penguasa absolut, melainkan sebagai pemegang amanah yang harus akuntabel (‘al-mas’uliyyah’).
Oleh karena itu, transparansi anggaran, upaya pemberantasan korupsi, dan pengawasan publik bukan sekadar tuntutan reformasi birokrasi. Ini adalah kewajiban religius untuk mencegah kerusakan (‘dar’ul mafasid’) dalam tatanan masyarakat dan negara.
Pancasila: Titik Temu Islam dan Negara di Indonesia
Bagi masyarakat Indonesia, titik temu antara Islam dan negara telah mengkristal dalam Pancasila. Pancasila bukanlah agama, namun ia berfungsi sebagai ‘kalimatun sawa’ atau titik temu.
Pancasila menampung nilai-nilai tauhid dalam sila pertama, kemanusiaan yang sejalan dengan ‘Maqasid Syariah’ dalam sila kedua, hingga keadilan sosial dalam sila kelima. Ini menunjukkan keselarasan nilai-nilai universal Islam dengan dasar negara.
Melalui Pancasila, Indonesia dapat menjadi negara yang religius tanpa harus menjadi teokrasi. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi negara demokrasi tanpa kehilangan nilai moral ketuhanan. Ini adalah model unik di mana Islam dan modernitas tidak saling menegasikan, melainkan saling memperkuat.
Mencari titik temu karakter negara dalam Islam berarti berani beranjak dari perdebatan simbolik menuju perjuangan nilai-nilai esensial. Negara yang islami bukanlah sekadar negara yang menggunakan label keagamaan.
Sebaliknya, negara islami adalah negara yang berhasil menghapus kezaliman, menyejahterakan rakyat, serta menjunjung tinggi martabat manusia tanpa diskriminasi. Di era penuh tantangan ini, tugas utama kita bukan lagi mempertentangkan Islam dan negara.
Tugas kita adalah memastikan bahwa nilai-nilai keadilan dan kejujuran senantiasa menjadi kompas dalam setiap kebijakan publik yang diambil, demi kemaslahatan bersama.






