Jakarta – Indeks Pendidikan Agama Islam (PAI) Tahun 2025 menunjukkan kondisi kualitas pembelajaran PAI jenjang sekolah dasar (SD) di Indonesia. Hasil asesmen ini menyoroti temuan menarik terkait kemampuan membaca Al-Qur’an guru PAI SD umum dan kemahiran siswa, yang rata-rata masih berada dalam kategori rendah.
Melalui pelaksanaan Asesmen PAI 2025, pemerintah bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memetakan capaian kompetensi guru PAI serta tingkat pemahaman keagamaan siswa SD secara komprehensif. Aspek yang dinilai meliputi pengetahuan, keterampilan membaca Al-Qur’an, hingga praktik nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Asesmen ini tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam perumusan kebijakan peningkatan mutu pendidikan agama Islam ke depan. Hasil asesmen menjadi pijakan penting bagi Kementerian Agama dalam menyusun kebijakan dan program berbasis data, serta berfungsi untuk memetakan tantangan nyata di lapangan dan merumuskan langkah perbaikan yang tepat sasaran.
Direktur Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, M. Munir, menjelaskan pemilihan jenjang SD didasarkan pada besarnya populasi peserta didik, yang saat ini mencapai lebih dari 23 juta siswa di seluruh Indonesia.
“Dalam asesmen ini, sebanyak 13.582 siswa muslim dan 262 guru terlibat sebagai responden dari total sekitar 160.879 guru SD. Jumlah tersebut dinilai telah memenuhi kaidah ilmiah dan cukup representatif untuk menghasilkan temuan yang valid,” jelas Munir dalam acara Ekspos Indeks Pendidikan Agama Islam Tahun 2025 di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (30/12/2025).
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Prof Ali Ramdhani, menambahkan bahwa pengukuran Indeks PAI 2025 menggunakan pendekatan SMART sebagai kerangka berpikir. SMART merupakan akronim dari Spesifik, Measurable (terukur), Achievable (dapat dicapai), Relevant (relevan), dan Time-bound (berjangka waktu).
“Dalam pendidikan agama, kita mengenal konsep tiga ‘H’, yakni pengetahuan, penghayatan, dan praktik. Agama tidak cukup dipahami sebagai pengetahuan semata, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, pendidikan agama mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek ini menjadi dasar penyusunan instrumen asesmen dan survei pendidikan,” ujar Ali Ramdhani.
Ia menegaskan pengukuran pendidikan agama harus dilakukan secara proporsional sesuai dengan jenjang pendidikan. Pendekatan tersebut diharapkan mampu menyajikan gambaran yang jujur dan objektif mengenai kondisi pendidikan agama Islam, baik pada peserta didik maupun guru.
Dalam konteks pendidik, Kementerian Agama menaruh perhatian pada empat aspek utama, yakni kualifikasi, kompetensi, karier, dan kesejahteraan guru. Hingga kini, masih ditemukan guru PAI yang belum sesuai kualifikasi dan kemampuan dasar seperti membaca Al-Qur’an.
Peneliti Ahli Utama Kementerian Agama yang berafiliasi dengan BRIN, Prof Muhamad Murtadlo, membeberkan temuan spesifik terkait kemampuan membaca Al-Qur’an guru PAI SD umum dan kemahiran siswa. Penilaian kemampuan baca Al-Qur’an guru dibagi dalam tiga kategori:
- Mahir: 11,3 persen
- Cakap: 30,4 persen
- Dasar: 58,3 persen
“Sehingga rata-rata skor kemampuan membaca Al-Qur’an guru berada pada angka 57,17 yang masuk dalam kategori rendah,” ujar Murtadlo.
Sementara itu, hasil indeks baca Al-Qur’an siswa menunjukkan:
- Mahir: 3,2 persen
- Cakap: 29,3 persen
- Dasar: 67,5 persen
“Rata-rata skor siswa berada pada angka 51,17, juga dalam kategori rendah,” jelas Murtadlo.






