Nasional

Fenomena Istidraj: Saat Kelancaran Rezeki Justru Menjadi Ujian Iman yang Menipu

Pertanyaan mengenai keadilan ilahi kerap mengemuka di benak banyak orang. Terutama ketika menyaksikan fenomena di mana individu yang tampak menyepelekan ibadah justru terlihat memiliki rezeki yang lancar, bahkan doa-doanya seolah lebih cepat terkabul.

Kondisi ini sering kali memicu perbandingan diri dan keraguan terhadap janji Tuhan. Namun, dalam perspektif Islam, kelancaran rezeki atau terkabulnya keinginan tidak selalu menjadi tanda keridhaan Allah SWT. Fenomena ini bisa jadi merupakan bentuk istidraj, sebuah ujian iman yang menuntut kesabaran dan keikhlasan dari seorang hamba.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Memahami Konsep Istidraj dalam Islam

Istidraj adalah keadaan di mana Allah memberikan kenikmatan duniawi kepada seorang hamba yang lalai dalam ketaatan-Nya. Pemberian ini bukan sebagai bentuk kasih sayang atau kemuliaan, melainkan ujian yang dapat menipu manusia. Banyak yang terjerumus dalam istidraj karena salah mengira bahwa kenikmatan yang mereka peroleh adalah tanda kemuliaan dari Allah.

Padahal, istidraj justru berpotensi mengalihkan perhatian manusia dari kebenaran hakiki. Ia menutup kesadaran terhadap bahaya tersembunyi di balik kenikmatan semu tersebut. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika seseorang secara konsisten meninggalkan salat, namun merasa hidupnya tetap berjalan baik-baik saja, tanpa hambatan berarti.

Kondisi semacam ini dapat menjadi bentuk ujian dari Allah SWT. Puncaknya, seluruh kenikmatan itu dapat dicabut secara tiba-tiba, hanya menyisakan penyesalan yang datang terlambat.

Landasan Al-Qur’an tentang Istidraj

Konsep istidraj ini memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 44:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

Artinya: “Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”

Ayat ini secara gamblang menjelaskan bahwa kelapangan rezeki dan terkabulnya keinginan tidak selalu menjadi indikator keridhaan Allah. Sebaliknya, hal tersebut dapat menjadi ujian atau istidraj, yang bertujuan agar manusia tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya.

Menyikapi Perbedaan Rezeki dan Ujian Iman

Di tengah pembahasan mengenai istidraj, respons manusia pun beragam. Sebagian merasa bingung dan mempertanyakan keadilan Allah, terutama saat melihat orang yang menyepelekan ibadah justru tampak hidup lebih mudah dan rezekinya lancar. Dari kebingungan ini, tak jarang muncul perasaan iri dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.

Tidak sedikit pula yang mengalami kelelahan batin. Mereka merasa telah berusaha taat beribadah, namun belum melihat hasil yang diharapkan. Di sisi lain, sebagian individu mencoba memahami peristiwa ini sebagai bagian dari ujian iman, dengan keyakinan teguh bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hamba-Nya.

Dalam ajaran Islam, setiap manusia memiliki takaran ujian, waktu, dan rezeki yang berbeda-beda. Membandingkan keadaan orang lain sebagai tolak ukur keadilan Allah justru dapat menyesatkan cara pandang. Allah Maha Mengetahui kebutuhan dan kemampuan setiap hamba-Nya.

Oleh karena itu, sebagai hamba Allah, penting untuk senantiasa bersabar, berikhtiar, dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Allah mungkin telah menyiapkan yang terbaik di waktu yang tepat dan dengan cara yang tak terduga. Berpikir positif menjadi kunci, sebab roda kehidupan pasti berputar seiring berjalannya waktu. Tidak semua keinginan harus segera dikabulkan, karena jika semua terpenuhi, manusia bisa lupa cara bersyukur dan berdoa.

Mureks