Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno membeberkan strategi krusial bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor energi. Menurutnya, percepatan transisi energi menjadi satu-satunya jalan keluar dari paradoks pengelolaan energi nasional.
Eddy menyoroti ironi besar di mana Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, justru masih sangat bergantung pada pasokan energi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketergantungan ini mencakup Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
“Tetapi di tengah-tengah keberlimpahan sumber energi yang kita miliki, baik itu fosil maupun sumber energi terbarukan, kita hari ini masih mengimpor energi untuk kebutuhan sehari-hari. Kita impor energi untuk kebutuhan BBM kita, kita impor untuk kebutuhan memasak kita, LPG-nya, kita masih mengimpor diesel,” ujar Eddy dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2025, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (29/12/2025).
Ia menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki cadangan energi fosil yang melimpah serta potensi energi terbarukan yang sangat besar. Namun, potensi tersebut belum sepenuhnya termanfaatkan untuk mencapai kemandirian energi.
Oleh karena itu, percepatan transisi energi, khususnya pengembangan energi terbarukan, dinilai sebagai solusi utama. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga menghentikan paradoks energi yang ada.
“Jadi paradoks energi yang kita hadapi sekarang ini perlu kita segera hentikan. Caranya bagaimana? Caranya salah satunya adalah kita melakukan transisi energi. Karena sumber-sumber energi kita yang berupa sumber energi terbarukan di dalam negeri jumlahnya sangat besar,” tambahnya.
Pemerintah sendiri telah menunjukkan komitmen melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Rencana tersebut mencakup pembangunan pembangkit listrik baru hingga tahun 2034, dengan mayoritas bersumber dari energi hijau.
“Sampai dengan tahun 2034 kita sudah berkomitmen kita akan membangun hampir 70 gigawatt pembangkit baru, di mana di antaranya 52 gigawatt itu datang dari energi baru dan energi terbarukan,” paparnya.
Meski demikian, Eddy mengingatkan bahwa realisasi transisi energi ini membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Indonesia diperkirakan memerlukan dana hingga ribuan triliun rupiah dalam satu dekade ke depan untuk membangun infrastruktur energi bersih yang dibutuhkan.
“Kebutuhan untuk pengembangan 10 tahun yang akan datang, kita membutuhkan dana investasi hampir US$ 190 miliar. Atau kurang lebih Rp 3.400 triliun,” tandasnya.






