Di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya yang terus bergerak cepat, sebuah gang kecil di kawasan Kertajaya menjadi saksi bisu keberlangsungan seni tradisi. Dikenal luas sebagai Gang Reyog, kawasan ini menjadi rumah bagi Reyog Singo Mangkujoyo, sebuah kelompok kesenian yang tak hanya bertahan, tetapi juga terus menemukan relevansinya di tengah kehidupan modern.
Patung Reyog Singo Mangkujoyo yang gagah berdiri di kawasan Gang Reyog, Gubeng Kertajaya, Surabaya, bukan sekadar ornamen. Patung ini menjadi penanda identitas kampung sekaligus simbol kuat eksistensi kesenian reyog di jantung kota metropolitan.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Sejarah dan Eksistensi di Tengah Kota
Reyog Singo Mangkujoyo bukanlah fenomena baru. Kelompok kesenian ini telah berdiri kokoh sejak tahun 1951. Berdasarkan penuturan Bu Maming, seorang warga Kampung Reyog Kertajaya yang terlibat langsung dalam aktivitas kesenian tersebut, kelompok ini didirikan oleh kakek buyut Sugiharto atau Giarto, yakni Mbah Wadyo.
Pemilihan kawasan Kertajaya yang strategis di pusat Kota Surabaya sejak awal memiliki tujuan mulia. Kehadiran Reyog Singo Mangkujoyo dimaksudkan untuk secara tegas menunjukkan eksistensi kesenian reyog di tengah ruang kota yang terus berkembang dan bertransformasi.
Seiring berjalannya waktu, Reyog Singo Mangkujoyo tidak hanya menjadi kelompok seni, melainkan juga identitas kultural yang melekat pada kawasan tersebut. Hingga hari ini, aktivitas pementasan masih terus berlangsung. Dalam satu bulan, kelompok ini rata-rata tampil satu hingga empat kali, baik di lingkungan kampung maupun di luar wilayah. Fakta ini menjadi bukti nyata bahwa reyog masih memiliki ruang hidup di tengah dominasi berbagai bentuk hiburan modern.
Peran Warga dan Tantangan Regenerasi
Keberlangsungan Reyog Singo Mangkujoyo tidak lepas dari peran aktif masyarakat. Bu Maming, yang juga mengelola persewaan kostum reyog dan jaranan, menegaskan, “keberlangsungan reyog hingga hari ini tidak lepas dari keterlibatan warga.” Baginya, reyog bukan sekadar pertunjukan, melainkan “juga bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kampung.”
Dalam perjalanan panjangnya, Reyog Singo Mangkujoyo tentu mengalami berbagai dinamika. Setelah tokoh-tokoh lama yang memegang peranan penting wafat, terjadi proses peralihan pengelolaan yang berlangsung cukup cepat. Namun, kondisi ini tidak serta-merta mematikan aktivitas kesenian. Reyog tetap berjalan, meskipun membutuhkan penyesuaian dan konsolidasi dari waktu ke waktu.
Beruntungnya, regenerasi tidak menjadi persoalan besar. Anak-anak muda masih menunjukkan minat untuk terlibat dalam kesenian ini, sebuah modal penting bagi kelangsungan tradisi di tengah kota. Namun, minat saja tidak cukup. Hal yang justru perlu mendapat perhatian serius adalah pembinaan nilai dan disiplin dalam berkesenian.
Reyog, menurut Bu Maming, “bukan hanya soal kekuatan fisik atau atraksi visual, melainkan juga laku budaya yang mengandung etika dan tanggung jawab.” Selain itu, aspek perawatan kesenian juga menjadi perhatian penting. Properti reyog, terutama kostum dan perlengkapannya, membutuhkan biaya besar dan perawatan rutin. Persewaan kostum menjadi salah satu cara warga menopang keberlangsungan kesenian, meskipun tetap memiliki keterbatasan.
Kesadaran Kolektif sebagai Kunci Pelestarian
Kisah Reyog Singo Mangkujoyo mengajarkan bahwa menjaga kesenian tradisi di tengah kota besar bukan hanya soal mempertahankan jadwal pentas atau sejarah panjang. Yang jauh lebih penting adalah menjaga nilai, disiplin, dan kesinambungan antargenerasi. Di sinilah terlihat bahwa pelestarian budaya sering kali bergantung pada inisiatif warga, bukan pada sistem pendukung yang mapan.
Selama masih ada warga yang merawat, pemain yang mau belajar, dan kesadaran bahwa reyog adalah bagian dari identitas bersama, kesenian ini akan tetap hidup meski berdiri di tengah hiruk-pikuk Surabaya.
Pada akhirnya, Reyog Singo Mangkujoyo bukan sekadar cerita tentang kelompok kesenian yang mampu bertahan sejak 1951, atau tentang seberapa sering ia tampil di panggung. Ia adalah contoh bagaimana kesenian tradisi hidup melalui perhatian pada hal-hal mendasar: kejelasan pengelolaan, perawatan properti, pembinaan nilai, dan keterlibatan warga. Di tengah kota Surabaya yang terus bergerak cepat, Reyog Singo Mangkujoyo mengingatkan bahwa pelestarian budaya tidak cukup hanya dengan simbol dan sejarah, tetapi membutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat kesenian itu sendiri.
Selama perhatian terhadap nilai dan praktik keseniannya tetap dijaga, reyog tidak hanya akan bertahan, tetapi terus menemukan relevansinya di tengah kehidupan kota modern.






