Di era media sosial yang serba cepat, cara negara berkomunikasi tidak lagi sekadar pelengkap kebijakan, melainkan instrumen krusial yang membentuk persepsi dan kepercayaan publik. Satu pernyataan pejabat, bahkan sepotong kalimat, kini berpotensi memicu krisis yang lebih besar daripada dampak satu pasal kebijakan.
Bahasa negara tidak lagi terbatas pada ruang rapat tertutup atau dokumen resmi. Ia kini hadir di lini masa media sosial, potongan video pendek, judul berita, hingga tangkapan layar yang beredar tanpa konteks. Di sinilah komunikasi pemerintah menjadi sangat penting; ia bukan hanya alat penyampai informasi, melainkan pembentuk kepercayaan. Cara pemerintah berbicara sering kali menentukan apakah sebuah kebijakan dipahami, diterima, atau justru ditolak sebelum sempat dijalankan.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Bahasa sebagai Cermin Kekuasaan dan Relasi dengan Warga
Sejak awal berdirinya negara modern, bahasa selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuasaan. Negara berbicara melalui regulasi, pidato, pengumuman, dan pernyataan resmi, yang secara inheren memiliki otoritas bahkan sebelum substansi kebijakan itu sendiri bekerja.
Namun, masalahnya, banyak bahasa komunikasi pemerintah masih lahir dari logika lama: negara sebagai pemberi perintah dan warga sebagai penerima. Hal ini tercermin dari pilihan diksi yang instruktif, normatif, dan sering kali berjarak. Kata-kata seperti “diimbau”, “diminta untuk memahami”, atau “masyarakat harus menyadari” mungkin terdengar netral, tetapi sesungguhnya menyimpan relasi kuasa yang timpang.
Dalam konteks demokrasi modern, relasi semacam ini menjadi problematis. Ketika negara terus berbicara dari menara otoritasnya, sementara warga hidup dalam realitas sosial yang kompleks, bahasa bukan lagi menjadi jembatan, melainkan tembok. Krisis kepercayaan publik sering kali bermula dari sini: ketika warga merasa tidak diajak bicara, melainkan hanya diberi tahu.
Dari Niat Kebijakan ke Persepsi Publik
Dalam praktik pemerintahan, sering muncul asumsi bahwa selama kebijakan sudah dirancang dengan benar, komunikasi hanyalah soal menyampaikan. Padahal, di ruang publik, persepsi sering kali lebih menentukan daripada niat kebijakan itu sendiri.
Kebijakan yang baik sekalipun dapat kehilangan legitimasi jika disampaikan dengan bahasa yang kaku, defensif, atau terkesan menyalahkan publik. Sebaliknya, kebijakan yang berat dapat lebih diterima ketika dikomunikasikan dengan jujur dan empatik. Di sinilah pemerintah kerap keliru membaca masalah. Ketika muncul kritik, respons yang diberikan sering kali berupa klarifikasi teknis atau pembelaan prosedural. Negara sibuk menjelaskan mekanisme, sementara publik berbicara tentang dampak. Dua bahasa ini, sayangnya, tidak bertemu.
Ketika Bahasa Pejabat Menjadi Sumber Polemik
Tidak sedikit polemik kebijakan di Indonesia yang sebenarnya bermula dari satu pernyataan pejabat. Potongan kalimat yang dianggap meremehkan, tidak peka, atau terkesan elitis dengan cepat memicu kemarahan publik. Dalam banyak kasus, klarifikasi datang terlambat, dan bahkan ketika disampaikan, bahasa yang digunakan kembali terjebak pada logika pembenaran. Akibatnya, jarak antara pemerintah dan publik semakin melebar.
Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: bahasa pejabat publik tidak pernah netral. Ia selalu dibaca, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan posisi kuasa yang melekat pada jabatan. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kehati-hatian dalam berbahasa bukan sekadar soal pencitraan, melainkan soal tanggung jawab demokratis.
Pergeseran dari Bahasa Kekuasaan ke Bahasa Pelayanan
Jika kita ingin jujur, banyak bahasa resmi pemerintah masih lebih dekat dengan bahasa kekuasaan daripada bahasa pelayanan. Bahasa kekuasaan menekankan kepatuhan, ketertiban, dan stabilitas, minim dialog, serta tidak memberi ruang pada emosi publik.
Sebaliknya, bahasa pelayanan berangkat dari kesadaran bahwa negara hadir untuk warga. Bahasa ini mengakui keresahan, menjelaskan dengan sederhana, dan membuka ruang tanya. Perubahan paradigma pemerintahan seharusnya diikuti oleh perubahan bahasa. Namun, yang sering terjadi, reformasi berhenti pada struktur dan regulasi, tidak menyentuh cara negara berbicara. Padahal, bagi warga, bahasa adalah pengalaman pertama berinteraksi dengan negara.
Media Sosial dan Amplifikasi Dampak Bahasa Negara
Masuknya pemerintah ke media sosial mempercepat dan memperluas dampak bahasa negara. Pernyataan yang dulu hanya muncul di konferensi pers kini tersebar dalam hitungan menit. Di satu sisi, ini membuka peluang komunikasi yang lebih langsung. Di sisi lain, kesalahan kecil dalam pilihan kata bisa melipatgandakan dampaknya.
Ironisnya, sebagian institusi negara masih memperlakukan media sosial seperti papan pengumuman digital. Bahasa tetap kaku, satu arah, dan minim konteks. Ketika respons publik negatif, negara kerap terkejut, seolah lupa bahwa media sosial adalah ruang dialog, bukan etalase. Krisis kepercayaan di era digital sering kali bukan karena kurangnya informasi, melainkan karena kegagalan membaca suasana.
Membangun Kepercayaan Bukan dengan Instruksi
Kepercayaan publik tidak lahir dari perintah atau imbauan. Ia tumbuh dari rasa dipahami dan dilibatkan. Bahasa memiliki peran sentral dalam proses ini. Ketika pemerintah berbicara dengan nada menggurui, publik merasa dijauhkan. Ketika pemerintah berbicara dengan nada setara, publik lebih bersedia mendengar.
Bahasa komunikasi pemerintah seharusnya mencerminkan kesadaran bahwa warga bukan objek kebijakan, melainkan subjek demokrasi. Menuju bahasa negara yang lebih manusiawi bukan berarti meniadakan otoritas negara. Pemerintah tetap membutuhkan wibawa, namun wibawa tidak harus dibangun dari jarak. Justru, dalam banyak kasus, wibawa lahir dari kejujuran dan empati.
Bahasa negara yang manusiawi bukan berarti kehilangan ketegasan, melainkan menemukan cara baru untuk tegas tanpa mengabaikan perasaan publik. Jika krisis kepercayaan ingin dipulihkan, pembenahan tidak bisa hanya dimulai dari kebijakan, tetapi juga dari cara negara berbicara. Bahasa, pada akhirnya, adalah cermin. Dari sanalah publik melihat wajah negaranya.






