Lulus tepat waktu seringkali dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan utama bagi mahasiswa. Namun, di balik euforia wisuda dan ucapan selamat, banyak lulusan perguruan tinggi justru dihadapkan pada pertanyaan mendasar yang tak kalah menantang: setelah ini, mau jadi apa?
Fenomena ini dialami oleh Zeheskiel Nainggolan, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Santo Thomas Medan, yang baru saja merampungkan studinya. Ia mengakui, momen kelulusan terasa sebagai pencapaian penting, namun beberapa hari setelahnya, kebingungan mulai menyelimuti.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Sistem Pendidikan dan Target Akademik
Nainggolan menyoroti bahwa sistem pendidikan di Indonesia cenderung sangat rapi dalam mengatur jadwal dan angka. Mahasiswa didorong untuk mengejar target seperti mengambil SKS sesuai jalur, mencapai IPK tinggi, dan lulus tepat waktu. Namun, ia berpendapat bahwa sistem ini seringkali luput memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengenal diri sendiri dan mengeksplorasi minat di luar rencana akademik.
“Sejak awal, kami diajari untuk mengejar target. Ambil SKS sesuai jalur, kejar IPK, jangan mengulang, dan pastikan lulus tepat waktu,” ujar Nainggolan. “Aku bisa menyelesaikan kuliah, tapi tidak pernah benar-benar diajak bertanya apa yang ingin aku lakukan setelahnya.”
Minat di luar kurikulum kerap dianggap sebagai gangguan atau bahkan dicurigai sebagai tanda ketidaksungguhan. Akibatnya, banyak lulusan yang memegang gelar sarjana, namun tanpa pemahaman yang jelas mengenai arah karier atau tujuan hidup yang benar-benar mereka inginkan.
Tekanan Sosial dan Realitas Dunia Kerja
Kebingungan pasca-kelulusan diperparah oleh tekanan sosial. Lulus cepat dianggap sukses, sementara belum bekerja setelah wisuda seringkali membuat seseorang merasa tertinggal. Media sosial turut memperkuat persepsi ini dengan menampilkan potongan-potongan hidup orang lain yang tampak sudah mapan dan meyakinkan.
Di tengah tekanan tersebut, kebingungan seringkali dianggap sebagai kesalahan pribadi. Padahal, menurut Nainggolan, pengalaman serupa dialami oleh hampir semua orang. Selain itu, dunia kerja juga sering terasa asing bagi para lulusan baru. Banyak tuntutan akan pengalaman dan keterampilan praktis yang tidak sepenuhnya disiapkan oleh kampus, menciptakan kesenjangan antara dunia akademik dan profesional.
Melihat Kebingungan sebagai Jeda, Bukan Kegagalan
Nainggolan menegaskan bahwa kebingungan setelah lulus bukanlah tanda kegagalan. Ia justru melihatnya sebagai tanda bahwa seseorang sedang berusaha jujur pada dirinya sendiri, sebuah proses refleksi yang sayangnya jarang diberi ruang dalam sistem yang terlalu memuja kecepatan dan kepastian.
“Mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap lulus cepat sebagai tujuan akhir,” katanya. Pendidikan, menurutnya, seharusnya tidak hanya mencetak individu yang efisien, tetapi juga manusia yang sadar akan pilihannya, siap belajar ulang, dan tidak panik ketika hidup tidak langsung berjalan sesuai rencana.
Bagi Nainggolan dan banyak lulusan lainnya, kebingungan ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah jeda. Ini adalah ruang untuk bertanya ulang, menyusun ulang, dan perlahan memahami arah. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya soal siapa yang paling cepat selesai, tetapi siapa yang paling sadar ke mana ia melangkah.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.






