Nasional

Membangun Kepercayaan Publik: Urgensi Pergeseran Bahasa Komunikasi Pemerintah

Setelah berbagai polemik komunikasi publik yang kerap terjadi, pertanyaan mendasar muncul: ke mana arah bahasa komunikasi pemerintah seharusnya dibawa? Kritik tanpa arah yang jelas hanya akan berakhir sebagai keluhan. Padahal, perbaikan bahasa negara sangat mungkin dilakukan, asalkan ada kesadaran dan kemauan kuat dari pihak terkait.

Bahasa bukan sekadar gaya berkomunikasi, melainkan cerminan cara negara memandang warganya. Apakah warga diposisikan sebagai objek yang harus patuh, atau sebagai subjek yang perlu diajak bicara secara setara? Dari sinilah perubahan fundamental dalam komunikasi publik harus dimulai.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Bahasa Negara: Cerminan Relasi Pemerintah dan Warga

Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu disertai dengan bahasa. Namun, tidak semua aspek bahasa tersebut tercatat dalam regulasi formal. Cara pejabat berbicara, menanggapi kritik, atau menjelaskan kegagalan, sesungguhnya merupakan kebijakan tak tertulis yang memiliki dampak nyata di tengah masyarakat.

Bahasa yang defensif cenderung melahirkan kecurigaan di mata publik. Sebaliknya, bahasa yang terbuka dan transparan akan membangun kepercayaan. Dalam jangka panjang, kepercayaan inilah yang menjadi modal utama bagi pemerintahan yang efektif dan stabil.

Oleh karena itu, pembenahan bahasa komunikasi pemerintah seharusnya dipandang sebagai bagian integral dari reformasi birokrasi. Ini bukan sekadar urusan kehumasan semata, melainkan fondasi untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Dari Instruksi Menuju Dialog: Fondasi Partisipasi Publik

Perubahan paling mendasar yang perlu dilakukan adalah pergeseran dari bahasa instruktif ke bahasa dialogis. Bahasa instruktif menempatkan negara sebagai pemberi perintah tunggal. Sementara itu, bahasa dialogis mengakui adanya percakapan dua arah antara pemerintah dan warga.

Dalam pendekatan dialogis, pemerintah tidak seharusnya alergi terhadap pertanyaan dan kritik dari masyarakat. Justru, kritik harus dipahami sebagai bagian esensial dari partisipasi warga dalam proses pembangunan. Dialog tidak selalu berarti harus mencapai kesepakatan, tetapi selalu berarti adanya kesediaan untuk mendengar.

Kejujuran dan Kejelasan, Bukan Sekadar Keamanan Administratif

Sering kali, bahasa resmi pemerintah dirancang agar aman secara administratif, namun abai terhadap aspek komunikatifnya. Kalimat-kalimat dipenuhi frasa normatif yang bertujuan menghindari risiko, tetapi justru kehilangan makna substansial. Akibatnya, pesan yang ingin disampaikan menjadi tidak jelas dan sulit dipahami.

Bahasa yang jelas bukan berarti ceroboh atau tidak hati-hati. Sebaliknya, ia menuntut keberanian untuk berkata apa adanya, dengan pilihan kata yang bertanggung jawab dan mudah dicerna publik. Kejujuran dalam berbahasa adalah fondasi utama untuk membangun kepercayaan publik yang kokoh.

Inklusivitas: Prinsip Etis dalam Komunikasi Publik

Bahasa negara yang membumi haruslah inklusif, yaitu sensitif terhadap keberagaman sosial, budaya, gender, dan kondisi ekonomi masyarakat. Pilihan kata yang bias, stereotipikal, atau meremehkan kelompok tertentu bukan hanya kesalahan teknis, melainkan kegagalan etis yang dapat melukai perasaan warga.

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan dalam menggunakan bahasa yang menghormati semua warga negara tanpa terkecuali. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap martabat setiap individu dalam masyarakat.

Peran Strategis Humas Pemerintah sebagai Kurator Bahasa

Dalam konteks ini, humas pemerintah memegang peran yang sangat strategis. Mereka bukan hanya sekadar penyampai informasi, tetapi juga kurator bahasa negara. Humas yang kuat harus memahami substansi kebijakan sekaligus dinamika publik yang berkembang.

Mereka harus mampu menerjemahkan bahasa birokrasi yang kompleks menjadi bahasa warga yang mudah dipahami, tanpa kehilangan makna inti dari pesan tersebut. Investasi pada kapasitas komunikasi publik sama pentingnya dengan investasi pada sistem dan infrastruktur fisik.

Konsistensi: Wujud Kepemimpinan dan Kredibilitas Institusi

Bahasa negara yang membumi juga menuntut konsistensi dalam penyampaian pesan. Pesan yang saling bertentangan antarpejabat dapat merusak kredibilitas institusi pemerintah di mata publik. Kepemimpinan yang baik tercermin dari kesatuan bahasa.

Ketika negara berbicara dengan satu suara yang jelas, konsisten, dan empatik, publik akan lebih mudah menaruh kepercayaan. Konsistensi menciptakan prediktabilitas dan stabilitas dalam komunikasi.

Belajar dari Warga: Tanda Kematangan Demokrasi

Bahasa yang membumi tidak lahir hanya dari ruang-ruang rapat tertutup. Ia lahir dari interaksi langsung dengan warga. Mendengarkan keluhan, membaca percakapan publik, dan merespons dengan rendah hati adalah proses pembelajaran berkelanjutan bagi pemerintah.

Negara yang bersedia belajar dari warganya adalah negara yang menunjukkan kematangan secara demokratis. Ini menandakan bahwa pemerintah mengakui pentingnya umpan balik dari masyarakat.

Serial tulisan ini berangkat dari satu kegelisahan mendalam: mengapa bahasa komunikasi pemerintah sering kali menjadi sumber masalah, bukan solusi. Jawabannya terletak pada relasi yang belum sepenuhnya setara antara negara dan warga. Bahasa memiliki kekuatan untuk memperlebar jarak, tetapi juga dapat menutupnya. Pilihan ada pada pemerintah.

Jika negara ingin dipercaya, maka ia harus terlebih dahulu berbicara sebagai sesama manusia, dengan empati dan kejujuran. Bahasa yang membumi bukan tentang menurunkan wibawa negara, melainkan tentang mengangkat martabat demokrasi itu sendiri.

Mureks