Akhir tahun kerap diidentikkan dengan euforia perayaan. Kalender dipenuhi agenda liburan, undangan pesta, dan hitung mundur menuju pergantian tahun. Jalanan ramai, linemasa media sosial riuh dengan sorak-sorai, seolah ada kesepakatan tak tertulis bahwa tahun yang baik harus ditutup dengan kegembiraan yang kasat mata.
Namun, tidak semua orang berada dalam fase hidup yang sama. Di tengah keramaian tersebut, sebagian individu memilih untuk menyepi. Akhir tahun terasa berbeda, bukan karena ketiadaan alasan untuk bersukacita, melainkan karena adanya tanggung jawab dan harapan yang sedang dijaga. Ada fase hidup di mana pencarian bukan lagi pada keramaian, melainkan pada kejelasan dan ketenangan.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Pilihan untuk menutup tahun tanpa pesta ini, seperti yang direfleksikan oleh Musbikhin M, penulis artikel ini, telah menjadi bagian dari perjalanannya selama beberapa tahun terakhir. Ia menegaskan, “Bukan karena hidup kehilangan makna dan bukan pula karena menolak kebahagiaan.” Baginya, hidup perlahan membimbingnya pada pilihan yang lebih sederhana: menahan diri, mengurangi hal yang tidak perlu, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Kesederhanaan ini, menurutnya, bukan sebuah kekurangan, melainkan cara untuk bertahan dengan jujur.
Menutup tahun tanpa pesta tidak berarti hidup kehilangan warna. Justru, ia mengambil warna yang lebih tenang. Dalam keheningan, seseorang diberi ruang untuk melihat kembali setahun yang telah berlalu: apa yang sudah dijalani, apa yang tertunda, dan apa yang perlu dilepaskan. Tanpa musik keras dan keramaian, suara hati terdengar lebih jelas.
Bagi sebagian orang, pilihan ini lahir dari hidup yang sederhana. Dari kesadaran bahwa tidak semua keinginan harus dipenuhi dan tidak semua momen perlu dirayakan secara besar-besaran. Ada masa di mana hidup tidak meminta lebih banyak, melainkan meminta lebih sadar. Lebih hati-hati dalam melangkah dan lebih jujur dalam menilai kemampuan diri.
Tulisan ini bukan ajakan untuk menolak pesta atau liburan. Merayakan hidup adalah hak setiap orang. Namun, ini adalah ajakan untuk menghormati pilihan yang berbeda—termasuk pilihan untuk menyepi. Sebab, tidak semua keberhasilan dirayakan dengan sorak-sorai dan tidak semua perjuangan perlu disaksikan banyak orang.
Ada orang-orang yang menutup tahun dengan doa dalam diam. Ada yang menutupnya dengan perhitungan yang sunyi. Ada pula yang menutupnya dengan tekad sederhana untuk bertahan satu tahun lagi, menjalani peran dengan jujur, dan melangkah sesuai kemampuan. Semua pilihan tersebut sama-sama sah dan memiliki maknanya sendiri.
Menjelang tahun baru, pertanyaan tentang resolusi dan target seringkali muncul. Padahal, tidak semua orang membutuhkan daftar panjang tujuan. Sebagian hanya membutuhkan ketenangan untuk berkata pada diri sendiri: “Aku sudah berusaha semampuku.” Dan pengakuan itu, seringkali, sudah cukup.
Memilih untuk menutup tahun tanpa pesta bisa menjadi bentuk keberanian. Keberanian untuk tidak mengikuti arus, untuk tidak memaksakan diri terlihat bahagia, dan untuk menerima bahwa hidup tidak selalu berada di puncak. Dalam dunia yang serba cepat dan bising, memilih hening adalah cara lain untuk merawat diri.
Maka, jika akhir tahun ini seseorang memilih untuk tidak berpesta, ketahuilah bahwa ia tidak sendirian. Pilihan tersebut tidak aneh, tidak salah, dan tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Bisa jadi, ia sedang berada di fase hidup yang membutuhkan ketenangan lebih dari keramaian.
Dan mungkin, justru dari keheningan itulah, kita memasuki tahun yang baru dengan langkah yang lebih jujur—lebih sadar, lebih siap, dan lebih damai.






