Lampu kamar kos masih berpendar di tengah malam yang semakin larut. Suara kendaraan yang melintas sayup-sayup terdengar, kemudian menghilang, meninggalkan kembali kesunyian yang telah menjadi teman akrab bagi para penghuninya. Keheningan perlahan mengisi setiap sudut ruangan kecil itu, membawa serta kesepian yang datang tanpa permisi, namun terasa nyata bagi siapa pun yang hidup jauh dari rumah.
Bagi mahasiswa perantau, kos bukan sekadar tempat untuk merebahkan diri setelah padatnya jadwal kuliah. Lebih dari itu, kos adalah ruang transisi, arena belajar untuk hidup mandiri, sekaligus ruang sunyi yang keberadaannya sering kali luput dari kesadaran. Di balik pintu-pintu kos yang tertutup rapat, tersimpan beragam cerita tentang asa yang belum tergapai, kelelahan yang tak terucap, dan proses pendewasaan yang jarang dibicarakan.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Secara fisik, kos memang memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti tempat tidur, kamar mandi, dan meja belajar. Namun, ia tidak selalu mampu menghadirkan rasa aman dan kehangatan layaknya rumah. Tidak ada riuhnya suara televisi di ruang keluarga, tidak ada obrolan ringan di ruang tamu, apalagi pertanyaan langsung yang menanyakan, “Sudah makan atau belum?” Kesunyian di kos terasa berbeda, lebih tenang, dan lebih dalam.
Perpindahan dari rumah ke kos bukan hanya soal berganti lokasi, melainkan juga perubahan fundamental dalam cara hidup. Mahasiswa dituntut untuk mengatur segalanya sendiri, mulai dari waktu, emosi, hingga strategi bertahan hidup hingga akhir bulan. Proses adaptasi ini kerap memicu rasa rindu dan kesepian yang mendalam. Ironisnya, perasaan tersebut sering kali dipendam, dianggap sebagai bagian wajar dari proses menuju kedewasaan. Mahasiswa perantau kerap merasa harus selalu tegar, mandiri, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Padahal, perasaan-perasaan itu muncul karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan rasa aman dan kehangatan dari orang lain.
Rindu dan Sepi di Tengah Keramaian
Menariknya, kesepian justru sering muncul meskipun seseorang tidak benar-benar sendirian. Di lingkungan kos, setiap penghuni memiliki ceritanya masing-masing, menjalani hidupnya secara terpisah. Pagi hari mereka berangkat kuliah, malamnya kembali ke kamar masing-masing. Meskipun saling mengetahui keberadaan satu sama lain, jarang sekali ada yang benar-benar mengenal secara mendalam. Sapaan singkat di lorong atau berbagi makanan di dapur sering kali dianggap cukup, tanpa perlu interaksi yang lebih panjang.
Dari perspektif modal sosial Robert Putnam, lemahnya jaringan sosial di lingkungan kos membuat mahasiswa rentan merasa sendirian. Minimnya hubungan yang kuat dan dukungan emosional menyebabkan mereka kesulitan menemukan tempat untuk berbagi. Selain itu, kurangnya rasa kepedulian dan rendahnya tingkat kepercayaan antarpenghuni kos menghambat perkembangan interaksi sosial yang lebih mendalam. Lingkungan kos yang cenderung individualistik justru memperkuat rasa keterasingan, meskipun berada di tengah banyak orang.
Seiring berjalannya waktu, banyak mahasiswa mulai membangun ikatan dengan lingkungan kosnya. Kos yang awalnya terasa asing, perlahan bertransformasi menjadi ruang aman yang baru. Meja belajar dipenuhi catatan dan secangkir kopi. Dinding dihiasi foto, poster band favorit, hingga sticky notes. Aktivitas-aktivitas kecil seperti memasak mi instan, mencuci baju sendiri, atau menata kamar menjadi bagian dari cara mereka membentuk ikatan dengan ruang tersebut.
Di ruang sunyi inilah, mahasiswa belajar mengenali dirinya sendiri. Kesepian tidak lagi dipandang sebagai kekurangan, melainkan sebuah proses untuk memahami batas dan kebutuhan diri. Kos mengajarkan bahwa pertumbuhan sering kali terjadi dalam keheningan. Dari ruang kecil inilah, kemandirian dan ketahanan emosional perlahan tumbuh. Bagi sebagian mahasiswa, kos juga menjadi tempat untuk berdamai dengan rindu. Rindu pada rumah, pada keluarga, atau pada versi diri yang dulu merasa lebih ‘utuh’. Rindu itu tidak selalu ingin dihilangkan, tetapi hanya ingin diakui keberadaannya. Di tengah kesunyian kos, rindu menjadi pengingat bahwa seseorang itu pernah dan masih memiliki tempat untuk pulang nantinya.
Pada akhirnya, tinggal di kos bukan hanya tentang bertahan hidup jauh dari rumah, tetapi juga tentang membangun ketahanan emosional. Ini adalah kesempatan untuk belajar hidup mandiri, sebelum benar-benar siap untuk hidup bersama orang lain. Kos mengajarkan bahwa kesendirian adalah bagian dari proses, bukan sesuatu yang harus ditakuti. Mungkin, kos tidak selalu hangat. Namun, di sinilah banyak mahasiswa perantau tumbuh perlahan, dalam diam, dan sering kali tanpa menyadarinya. Dari ruang kecil yang sunyi itu, seseorang bisa belajar menjadi lebih dewasa.






