Nasional

Di Balik Dalih Kesehatan Mental: Fenomena Self-Reward Berlebihan Generasi Z

Istilah “self-reward” kini semakin akrab di telinga Generasi Z (Gen Z). Bentuk penghargaan kepada diri sendiri ini kerap dilakukan setelah menghadapi pekerjaan berat, tekanan akademik, atau hiruk pikuk kehidupan, demi menjaga kewarasan mental. Namun, kebiasaan ini berpotensi menimbulkan perilaku konsumtif secara tidak sadar jika dilakukan secara terus-menerus.

Fenomena ini bahkan disebut sebagai bagian dari treat culture, yakni kebiasaan generasi muda memberi hadiah kecil sebagai kompensasi atas tekanan hidup, seperti dilansir dari laman AOL Finance. Di era digital ini, Gen Z sering merayakan diri sendiri dengan berbagai bentuk self-reward, mulai dari membeli makanan enak, nongkrong di kafe, membeli barang bermerek, hingga melakukan perjalanan “healing” ke luar kota.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Budaya self-reward ini dianggap sebagai salah satu cara efektif untuk menghadapi burn out. Penelitian menunjukkan bahwa self-reward dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan motivasi intrinsik individu, sebagaimana diungkapkan oleh Komarudin pada tahun 2024. Kendati demikian, self-reward dapat berujung pada self-ruin atau kehancuran diri sendiri jika tidak dikendalikan dengan baik.

Budaya self-reward yang berlebihan justru memicu perilaku konsumtif. Sebuah studi oleh Akbar, R. P., dan Armansyah (2023) menunjukkan bahwa literasi keuangan yang rendah dan kontrol diri yang lemah berkontribusi signifikan terhadap perilaku konsumtif pada generasi ini.

Dibanding generasi sebelumnya, Gen Z dikenal melek digital dan sangat aktif di media sosial. Kondisi ini menjadi salah satu faktor utama Gen Z rentan terjebak dalam self-reward berlebihan karena pengaruh konten di dunia maya. Tren di TikTok, misalnya, sering menampilkan perilaku Gen Z yang menghabiskan uang di tempat makan mahal nan “aesthetic” demi membangun citra di media sosial pribadi.

Tak hanya itu, Gen Z juga bisa dengan mudah dan tanpa berpikir panjang membeli barang bermerek demi mengikuti tren yang sedang ramai. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh American Express menemukan bahwa sekitar 72% dari Gen Z mengatakan mereka menghabiskan lebih banyak uang untuk hal-hal yang membuat mereka terlihat menarik di media sosial.

Bagi Gen Z, mengikuti tren bukan sekadar menyesuaikan zaman, melainkan cara mereka untuk tampil dan diakui. Media sosial pribadi yang terlihat keren dan mewah menjadi standar sosial demi menjaga identitas diri. Oleh karena itu, Gen Z sering merasa tertekan untuk mengikuti standar di media sosial, yang mengakibatkan timbulnya perilaku konsumtif secara tidak sadar. Pola ini kerap dikemas rapi dengan dalih self-reward, karena mereka merasa pantas mendapatkan apresiasi berupa hadiah atas beratnya kehidupan serta pencapaian sederhana mereka.

Dampak Buruk Self-Reward Berlebihan bagi Generasi Z

  1. Memunculkan Gaya Konsumtif yang Tidak Terkontrol

    Gen Z banyak mengeluarkan uang secara impulsif dengan dalih self-reward untuk membeli barang bermerek, nongkrong di tempat mahal, serta mengikuti tren media sosial. Jika hal ini dilakukan terus-menerus, mereka akan kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sehingga pengeluaran menjadi tidak terkontrol.

  2. Memicu Krisis Finansial di Usia Muda

    Kebiasaan buruk mengeluarkan uang secara impulsif akan berdampak pada kehidupan jangka panjang. Alih-alih menabung, Gen Z lebih tergiur dengan kesenangan sesaat. Self-reward yang berlebihan mungkin menyenangkan di masa sekarang, tetapi hal itu akan mengorbankan stabilitas finansial jangka panjang.

  3. Memicu Ketergantungan Emosional pada Validitas Eksternal

    Self-reward yang dilakukan secara berlebihan kerap kali ditujukan bukan hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi juga untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang memiliki standar kebahagiaan hanya jika mendapatkan pengakuan, like, komentar, dan validitas sosial.

  4. Berpotensi Menormalisasi Pembenaran Diri

    Self-reward terkadang dilakukan bukan hanya ketika seseorang berhasil mencapai sesuatu, tetapi juga sebagai bentuk penenang saat tidak berhasil mendapatkan hal yang diinginkan, dengan alasan “aku pantas bahagia, aku pantas diberi apresiasi”. Setiap kesalahan dan kegagalan tanpa evaluasi kerap dinormalisasikan dengan dalih “aku kan sudah berusaha”, sehingga seseorang akan abai dengan tanggung jawabnya.

Mengelola Self-Reward agar Tidak Berujung Krisis

Bahaya self-reward yang berlebihan sangat fatal, sebab dapat menyebabkan pola pikir generasi muda tergerus dan tergiur dengan kesenangan sesaat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan beberapa hal terkait cara memberikan apresiasi kepada diri sendiri:

  1. Tetapkan Tujuan dan Target Self-Reward yang Jelas

    Sebelum mengapresiasi diri sendiri, penting untuk memahami alasan yang mendasari sehingga kita layak diberi apresiasi. Dengan demikian, self-reward hanya dilakukan ketika tujuan atau target tersebut berhasil dicapai.

  2. Tidak Impulsif dan Sesuaikan dengan Kemampuan Finansial

    Self-reward bisa dilakukan dengan membeli barang yang diinginkan, namun dengan syarat tidak melampaui batas kemampuan finansial.

  3. Fokus pada Nilai Jangka Panjang

    Ketika ingin membeli barang sebagai bentuk self-reward, penting untuk menganalisis kebermanfaatan berkelanjutan dari barang tersebut, bukan hanya untuk kepuasan sesaat.

Pada akhirnya, self-reward adalah hal yang wajar untuk menyenangkan diri sendiri dan menjaga kewarasan mental, namun harus dengan batasan yang jelas. Ketika dilakukan secara berlebihan, hal ini akan menimbulkan perilaku konsumtif yang berdampak buruk bagi diri sendiri. Oleh karena itu, generasi muda, khususnya Gen Z, sepatutnya bisa mengantisipasi diri agar mampu mengelola kestabilan mental dan finansial dengan baik, yakni dengan tidak melakukan perilaku konsumtif hanya dengan dalih mengapresiasi diri sendiri.

Mureks