Ketua Dewan Pakar Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, memberikan sejumlah catatan kritis terkait wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menurutnya, alih-alih merampas hak rakyat, pemerintah dan elite politik seharusnya fokus pada perbaikan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang sudah berjalan.
Wacana Pilkada oleh DPRD kembali mengemuka setelah beberapa partai di parlemen, seperti Golkar, PAN, Gerindra, dan PKB, menyatakan dukungan terhadap usulan tersebut. Andi Mallarangeng menjelaskan bahwa argumen utama di balik wacana ini adalah kesan Pilkada langsung yang mahal, baik dari segi biaya kampanye maupun penyelenggaraan, serta maraknya praktik politik uang.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Solusi Atasi Politik Uang dan Biaya Kampanye
Andi menegaskan bahwa jika masalahnya adalah politik uang, solusinya bukanlah mengembalikan Pilkada ke DPRD, melainkan penegakan hukum yang lebih keras dan konsisten. “Tapi kalau itu masalahnya, maka mari kita memperbaikinya. Kalau maraknya money politics, solusinya adalah penegakan hukum yang keras dan konsisten. Juga perlunya memperkuat kewenangan Bawaslu,” kata Andi kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/12).
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini juga menyoroti mahalnya biaya kampanye. Ia mengusulkan penerapan spending cap atau pembatasan pengeluaran kampanye, mirip dengan model di liga sepak bola Eropa. “Pembiayaan kampanye setiap kandidat dan partai dibatasi dengan jumlah yang tepat, tidak jorjoran. Begitu juga pembatasan penerimaan kampanye,” jelasnya.
Efisiensi Penyelenggaraan Pilkada
Terkait biaya penyelenggaraan yang tinggi, Andi menawarkan beberapa solusi efisiensi. Salah satunya adalah memotong jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga separuh, dengan menaikkan jumlah pemilih per TPS menjadi 1.000 orang. Ia juga menyarankan perpanjangan waktu pemilihan hingga pukul 16.00 WIB.
“Waktu pemilihan juga bisa diperpanjang sampai pukul 16.00. Toh, hanya 3 kotak suara dalam pemilu daerah, yaitu kotak suara DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pilkada, sehingga menghitungnya bisa cepat. Lebih efisien lagi jika menggunakan teknologi e-voting,” papar Andi.
Pilkada oleh DPRD: Mengulang Sejarah Politik Uang dan Oligarki
Andi Mallarangeng mengingatkan bahwa sistem Pilkada oleh DPRD justru berpotensi memindahkan praktik politik uang dari ranah elektoral langsung ke dalam lingkungan DPRD. Ia mencontohkan era Orde Baru sebagai bukti. “Bisa lihat dahulu sejak zaman Orba. Itu hanya memindahkan money politics elektoral menjadi money politics di DPRD,” ujarnya.
Menurutnya, sistem ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak berakar pada rakyat. “Yang terpilih pastilah yang dikehendaki oleh oligarki kekuasaan, bukan oleh rakyat. Seluruh 38 gubernur dan 514 bupati dan wali kota serta wakil-wakilnya ditentukan oleh 8 orang Ketum Partai yang ada di DPR. Kita akan kehilangan pemimpin yang berakar ke rakyat dan digantikan oleh pemimpin yang berakar ke atas,” tutur eks Menteri Pemuda dan Olahraga ini.
Meskipun ada argumen bahwa sistem Pilkada oleh DPRD akan diperbaiki, Andi menilai legitimasinya tetap berasal dari elite politik di DPRD, bukan dari rakyat. “Daripada berusaha untuk memperbaiki sistem yang sudah kita tinggalkan, lebih baik kita memperbaiki sistem pilkada langsung. Karena memang ada solusi perbaikannya kalau kita melihat best practices di negara-negara lain di dunia,” tegasnya.
Potensi Kegaduhan dan Hak Rakyat
Andi juga menyoroti hasil survei yang secara konsisten menunjukkan mayoritas rakyat menolak Pilkada oleh DPRD, dengan sekitar 80 persen mendukung Pilkada langsung. Ia mempertanyakan mengapa aspirasi rakyat tidak didengarkan. “Mengapa kita tidak bertanya kepada rakyat maunya bagaimana? Pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD. wacana pilkada oleh DPRD. Silakan melihat hasil polling tentang wacana ini yang selalu konsisten memperlihatkan bahwa sekitar 80 persen rakyat mendukung pilkada langsung dan menolak pilkada oleh DPRD,” kata Andi.
Ia menambahkan, “Kira-kira, bagaimana perasaan rakyat ketika menyadari bahwa haknya untuk memilih pemimpin daerahnya mau dirampas lalu diberikan kepada elite politik di DPRD?”
Wacana ini, lanjut Andi, dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan dan mengalihkan energi bangsa dari masalah-masalah mendesak lainnya. Ia memprediksi akan ada gelombang pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika usulan ini direalisasikan. “Saya bayangkan setiap warga negara yang punya hak pilih akan berbondong-bondong antre mendaftarkan judicial review ke MK. Setiap warga negara yang punya hak pilih (lebih dari 200 juta orang) jelas dirugikan dan tentu saja akan memiliki legal standing untuk melakukan JR ke MK,” jelasnya.
Andi berharap wacana ini hanya sebatas “cek ombak” atau latihan intelektual semata, bukan langkah serius dalam revisi Undang-Undang Pemilu. “Mudah-mudahan ini hanya sekadar wacana semata, sekadar intellectual exercise. Tapi bisa juga sekaligus “cek ombak,” untuk melihat seberapa besar resistensinya, dalam rangka revisi UU Pemilu nantinya,” tutup Andi Mallarangeng.






