Indonesia kini dihadapkan pada sebuah paradoks hukum yang membingungkan sekaligus mengancam fondasi negara hukum. Di satu sisi, Mahkamah Agung (MA) secara yudisial telah menetapkan kerugian negara dalam kasus korupsi timah sebesar Rp29,67 triliun melalui putusan yang final. Namun, di sisi lain, narasi yang masif berkembang di ruang publik, terutama dari pihak eksekutif, justru menggaungkan angka yang jauh lebih fantastis: Rp300 triliun.
Perbedaan angka yang signifikan ini bukan sekadar selisih hitungan akuntansi biasa, melainkan ancaman nyata terhadap integritas peradilan dan kepastian hukum di Indonesia.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Bahaya di Balik Selisih Narasi Angka Kerugian Negara
Menurut Basuki Kurniawan, akademisi dan pengajar Hukum Administrasi Negara, fenomena ini menimbulkan dua risiko besar yang patut diwaspadai:
- Delegitimasi Yudisial: Adagium Res Judicata Pro Veritate Habetur secara tegas menyatakan bahwa putusan hakim harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mutlak. Jika opini publik terus-menerus diarahkan untuk memercayai angka yang jauh melampaui putusan final pengadilan, maka ada risiko serius mendegradasi peran pengadilan. Pengadilan dapat dianggap bukan lagi sebagai penentu kebenaran hukum, melainkan sekadar formalitas administratif.
- Krisis Kepastian Hukum: Ketidakselarasan data antarlembaga, terutama antara putusan yudisial dan narasi eksekutif, menciptakan ketidakpastian yang merugikan iklim investasi. Dunia usaha akan sulit merasa aman jika parameter kerugian negara bersifat elastis dan bergantung pada tekanan opini publik, bukan pada pembuktian yudisial yang rigid dan terukur.
Mendesak Langkah Konkret untuk Menyelamatkan Marwah Negara Hukum
Untuk menyelamatkan marwah negara hukum, Basuki Kurniawan menekankan perlunya langkah konkret:
- Standardisasi Metodologi: Diperlukan sinkronisasi penghitungan kerugian negara antara lembaga audit seperti BPK atau BPKP dengan aparat penegak hukum, mulai dari tahap penyidikan hingga penuntutan.
- Finalitas Putusan: Penting untuk memperkuat jaminan konstitusional bahwa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah kebenaran hukum tertinggi. Putusan ini wajib dihormati oleh semua pemegang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif, tanpa terkecuali.
- Menjaga Prinsip ‘Check and Balances’: Independensi yudikatif tidak boleh tergerus oleh tekanan politik atau ‘populisme hukum’ yang hanya mengejar kepuasan opini publik sesaat.
Basuki Kurniawan menutup pandangannya dengan pertanyaan reflektif: “Sejauh mana narasi eksekutif boleh memengaruhi persepsi publik terhadap sebuah putusan hukum yang sudah inkracht? Apakah kita sedang bergerak menuju supremasi hukum atau justru supremasi opini?”






