Keuangan

Xi Jinping Sebut ‘Involusi’ Ekonomi China, ASEAN Waspadai Dampak ke Industri Nasional dan Geopolitik

Tekanan ekonomi yang masih membelit China dinilai berpotensi membawa dampak besar bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dampaknya tidak hanya dirasakan di sektor ekonomi, tetapi juga merembet ke geopolitik dan keamanan kawasan sepanjang tahun 2025.

Pemulihan Ekonomi China yang Belum Solid

Pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu pascapandemi belum sepenuhnya solid. China masih dibayangi krisis sektor properti, pengangguran yang tinggi—khususnya di kalangan anak muda—penuaan populasi, tekanan deflasi, hingga persaingan industri domestik yang tidak sehat.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Presiden China Xi Jinping menyebut kondisi ini sebagai “involusi”, yakni persaingan berlebihan tanpa peningkatan produktivitas yang sepadan. Tekanan tersebut diperparah oleh faktor eksternal, mulai dari kebijakan tarif Amerika Serikat hingga melemahnya permintaan global.

Ancaman Banjir Produk Murah dan Ketegangan di Laut China Selatan

Situasi ini mendorong produsen China mengalihkan ekspor ke kawasan Asia Tenggara. Akibatnya, pasar ASEAN, termasuk Indonesia, dibanjiri produk murah asal China yang berpotensi menekan industri nasional dan pelaku usaha kecil menengah.

Selain ekonomi, isu keamanan kawasan juga menjadi perhatian serius. Ketegangan di Laut China Selatan masih berlangsung, terutama terkait aktivitas China di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif Filipina. Peningkatan aktivitas militer China di wilayah maritim yang berdekatan dengan Asia Tenggara turut memicu kekhawatiran sejumlah negara.

Indonesia juga dinilai perlu mewaspadai potensi meluasnya klaim sepihak China melalui peta garis putus-putus yang kini berkembang menjadi sepuluh garis. Klaim tersebut dikhawatirkan dapat bersinggungan dengan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Natuna.

Antisipasi Dampak Ekonomi dan Geopolitik

Isu-isu tersebut mengemuka dalam diskusi akhir tahun Forum Sinologi Indonesia (FSI) bertajuk “Refleksi 2025: Relasi China, Asia Tenggara, dan Indonesia” di Jakarta. Ketua FSI Johanes Herlijanto menyebut dampak ekonomi China menjadi perhatian paling mendesak bagi ASEAN dalam waktu dekat.

Johanes menilai masuknya produk murah China dan pergeseran investasi ke Indonesia untuk menghindari tarif AS perlu diantisipasi dengan matang. “Isu tenaga kerja asal China, transfer teknologi, ketergantungan produk, dan persaingan dengan pengusaha nasional harus dicermati,” ujarnya.

Dalam konteks geopolitik, China dinilai semakin aktif mengukuhkan pengaruhnya di Asia Tenggara dengan memosisikan ASEAN sebagai kawasan strategis. Namun, narasi kerja sama tersebut kerap berseberangan dengan praktik di lapangan, terutama terkait sikap agresif di wilayah maritim.

Strategi Indonesia di Tengah Kompleksitas Hubungan

Guru Besar Sinologi Universitas Indonesia Prof Tuty Nur Mutia menilai hubungan Indonesia-China merupakan salah satu relasi bilateral paling kompleks. Meski kerja sama ekonomi terus menguat, isu kedaulatan—khususnya di wilayah Natuna—tetap menjadi bayang-bayang.

Memasuki era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia dinilai tetap memprioritaskan hubungan dengan China, namun dengan strategi hedging. Strategi ini menekankan kerja sama ekonomi yang dibarengi kehati-hatian di bidang keamanan serta diversifikasi mitra strategis.

Senada, pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah dan diplomat Kementerian Luar Negeri Victor Harjono menegaskan pentingnya Indonesia tetap berpegang pada politik luar negeri bebas aktif, menjunjung UNCLOS 1982, serta menjaga keseimbangan di tengah dinamika geopolitik kawasan.

Mureks