Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menekankan pentingnya pemahaman menyeluruh terhadap data cuaca dan peta risiko bencana untuk mewujudkan sistem peringatan dini yang efektif. Tujuannya adalah menekan risiko bencana akibat cuaca ekstrem yang kerap terjadi di Indonesia.
Sistem Peringatan Dini Kunci Tekan Risiko Bencana
“Bencana memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, namun risikonya bisa ditekan dengan membangun sistem peringatan dini bencana yang tepat, sehingga mampu melindungi lebih banyak nyawa dalam menghadapi dampak cuaca ekstrem di tanah air,” kata Lestari Moerdijat, yang akrab disapa Rerie, dalam sebuah diskusi daring pada Rabu (10/12/2025). Diskusi bertema ‘Potensi Ancaman Fenomena Hidrometeorologi Menjelang Libur Natal dan Tahun Baru’ ini diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12.
Rerie menambahkan bahwa dengan pemahaman yang baik terhadap data dan peta risiko, para pemangku kepentingan di setiap daerah diharapkan mampu mengambil langkah antisipasi yang tepat. Sistem peringatan dini bencana harus mudah dipahami oleh masyarakat dan para pengambil keputusan agar mitigasi bencana dapat berjalan efektif.
Ia mendorong penguatan kolaborasi antarpihak terkait dalam menyikapi potensi cuaca ekstrem. “Saya berharap adanya peningkatan kewaspadaan yang tinggi antara lain pada sektor transportasi, pengelola kawasan wisata, dan wilayah padat penduduk, dalam menghadapi ancaman cuaca ekstrem di musim libur akhir tahun ini,” ujar Anggota Komisi X DPR RI itu.
Prediksi BMKG dan Potensi Bencana Hidrometeorologi
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Ardhasena Sopaheluwakan, memaparkan bahwa potensi bencana hidrometeorologi bervariasi setiap tahun. Pada periode Desember-Februari, ancaman utamanya adalah hujan deras yang dapat menyebabkan banjir, longsor, dan gelombang tinggi. Sementara itu, Maret-Mei berpotensi terjadi puting beliung, petir, dan hujan es. Peningkatan suhu bumi pada Juni-Agustus dapat memicu kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang tinggi air laut. Puncak musim hujan kembali terjadi pada September-November, membawa ancaman puting beliung, hujan es, dan curah hujan tinggi.
Ardhasena menjelaskan dinamika cuaca yang mendorong curah hujan ekstrem di Sumatera beberapa waktu lalu disebabkan oleh pusaran badai, konvergensi angin, dan konveksi akibat pemanasan permukaan air laut. Ia memperkirakan curah hujan tinggi akan terjadi di kawasan Selatan khatulistiwa pada Januari-Juni 2026.
Peran WALHI dan Pentingnya Kearifan Lokal
Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Melva Harahap, mengelompokkan bencana yang berdampak pada kerusakan daya dukung lingkungan sebagai bencana ekologis. Ia mengakui BMKG telah menyediakan data cuaca dan iklim sebagai bagian dari mekanisme peringatan dini.
“Pertanyaannya apakah informasi-informasi yang sudah ada itu mendapatkan perhatian serius dari masyarakat secara luas,” ujar Melva. Ia menekankan pentingnya memastikan masyarakat memiliki kapasitas yang cukup untuk memanfaatkan data cuaca yang ada, serta para pemangku kebijakan memastikan daya dukung lingkungan di setiap daerah.
Melva berharap upaya perbaikan lingkungan, mitigasi bencana, dan pembangunan sistem peringatan dini yang dipahami masyarakat luas segera diwujudkan. Ia juga menyarankan pemanfaatan kearifan lokal dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Keselamatan 119 Juta Warga Menjadi Prioritas
Anggota Komisi V DPR RI, Mori Hanafi, mengungkapkan bahwa diperkirakan 119 juta orang akan melakukan perjalanan selama libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Oleh karena itu, perkiraan BMKG terkait fenomena hidrometeorologi menjelang Tahun Baru menjadi krusial untuk keselamatan warga.
“Sangat disayangkan masyarakat belum peduli terhadap data BMKG dalam menyikapi ancaman cuaca ekstrem yang dihadapi,” kata Mori, seraya menambahkan bahwa data BMKG harus menjadi pedoman bagi masyarakat.
Wartawan senior Usman Kansong berpendapat bahwa kelengkapan data cuaca dan iklim BMKG belum mampu mencegah parahnya dampak bencana. “Saya khawatir kita sudah menjadi bangsa yang antisains,” ujarnya.
Usman menekankan bahwa data BMKG adalah sains yang perlu disikapi secara memadai oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Ia berharap para pemangku kepentingan dan masyarakat mau kembali memanfaatkan sains untuk mitigasi bencana di masa depan.
Diskusi ini dimoderatori oleh Tenaga Ahli Waka MPR RI, Arimbi Heroepoetri, dengan narasumber Dr. Ardhasena Sopaheluwakan (BMKG) dan Melva Harahap (WALHI), serta Anggota Komisi V DPR RI Mori Hanafi sebagai penanggap.






