Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat kemandirian fiskal daerah melalui reformasi sistem perpajakan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) menjadi tonggak penting dalam upaya ini, menggantikan regulasi sebelumnya yang telah berlaku lebih dari satu dekade.
Landasan Hukum dan Pergeseran Paradigma Fiskal
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan ini menandai pergeseran paradigma signifikan dalam hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Berdasarkan Pasal 3 UU HKPD, prinsip pendanaan urusan pemerintahan kini lebih tegas. Urusan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sementara urusan pusat dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam konteks ini, pajak daerah memegang peran krusial sebagai sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menopang pembiayaan otonomi tersebut.
Klasifikasi Pajak Daerah dan Kewenangan Pemungutan
UU HKPD, melalui Pasal 4, mengklasifikasikan pajak daerah menjadi dua kelompok utama berdasarkan tingkatan pemerintahan. Pembagian ini mencakup Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.
Klasifikasi yang jelas ini bertujuan untuk mengatur batas-batas kewenangan pemungutan pajak secara lebih terperinci. Dengan demikian, potensi tumpang tindih dalam pemungutan pajak antarlevel pemerintahan dapat dicegah, menciptakan harmonisasi fiskal yang lebih baik.
Prinsip Pemungutan Pajak: Keseimbangan dan Kepastian Hukum
Undang-Undang HKPD juga mengatur perbedaan mekanisme pemungutan pajak. Terdapat pajak yang dipungut berdasarkan penetapan oleh kepala daerah, serta pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan mandiri oleh wajib pajak.
Sistem ini dirancang untuk mencapai keseimbangan antara efektivitas administrasi pemungutan dan kepastian hukum bagi para wajib pajak. Lebih lanjut, Pasal 6 UU HKPD secara tegas melarang pemerintah daerah memungut pajak di luar jenis yang telah diatur dalam undang-undang. Aturan ini esensial untuk menjaga harmonisasi kebijakan fiskal nasional dan mencegah praktik pungutan liar berkedok pajak daerah.
Inovasi dalam Desain Pajak untuk Efisiensi dan Keadilan
UU Nomor 1 Tahun 2022 memperkenalkan sejumlah inovasi penting dalam sistem perpajakan daerah. Reformasi ini merupakan bagian dari upaya negara untuk menciptakan sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan antar sektor dan wilayah.
Mekanisme Bagi Hasil dan Sinergi Fiskal Nasional
UU HKPD juga mengatur secara rinci mekanisme bagi hasil pajak provinsi. Pasal 85 menetapkan bahwa hasil penerimaan dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan (PAP), dan Pajak Rokok akan dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dengan persentase yang telah ditentukan.
Sebagai contoh, 70% dari penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk kabupaten/kota. Skema bagi hasil ini dirancang untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah dengan basis pajak yang relatif kecil, sekaligus mengurangi disparitas atau ketimpangan antar wilayah.
Lebih lanjut, Pasal 86 memberikan fleksibilitas penggunaan hasil penerimaan pajak untuk tujuan spesifik. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk pendanaan transportasi umum (dari PKB dan PBBKB), sektor kesehatan (dari Pajak Rokok), atau pengelolaan sumber daya air (dari Pajak Air Tanah/PAT). Ketentuan ini menegaskan peran strategis pajak daerah sebagai instrumen kebijakan publik.
Harmonisasi dengan Retribusi Daerah: Penyederhanaan dan Efisiensi
Selain pajak daerah, UU HKPD juga mengatur retribusi daerah sebagai bentuk pungutan lain yang berbasis pada jasa atau izin. Undang-undang ini secara tegas membatasi jenis retribusi menjadi hanya tiga kategori: jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu.
Penyederhanaan ini memiliki tujuan strategis, yakni menghilangkan jenis retribusi yang dianggap tidak relevan dan mengurangi beban administrasi. Harapannya, langkah ini dapat menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan efisien di tingkat daerah.
Mendorong Kemandirian Fiskal dan Akuntabilitas Daerah
Kerangka baru yang diusung UU HKPD diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan sistem pajak yang lebih terintegrasi dan berbasis pada potensi riil daerah, kapasitas fiskal daerah diproyeksikan akan meningkat.
Peningkatan kapasitas fiskal ini juga diiringi dengan tuntutan akuntabilitas keuangan publik yang lebih tinggi. UU HKPD mendorong daerah untuk memperkuat sistem administrasi perpajakan, memperbaiki basis data wajib pajak, serta meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Aspek transparansi dalam penggunaan pajak menjadi prasyarat penting. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memahami bahwa kontribusi pajak daerah yang mereka bayarkan akan kembali dalam bentuk layanan publik yang lebih baik dan berkualitas.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Perpajakan Daerah yang Berkelanjutan
Pajak daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, merefleksikan kedaulatan fiskal daerah, berfungsi sebagai instrumen pemerataan pembangunan, dan sarana untuk memperkuat integrasi ekonomi nasional.
Undang-undang ini menggarisbawahi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih adil, transparan, serta berorientasi pada pelayanan publik. Pemahaman mendalam terhadap ketentuan dan prinsip yang terkandung di dalamnya diharapkan dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur daerah dalam mewujudkan tata kelola perpajakan daerah yang sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan.






