Nasional

TPA Putri Cempo: Sisi Lain Solo yang Terlupakan, dari Tumpukan Sampah hingga Sumber Kehidupan

Advertisement

Kota Solo, yang kerap dijuluki ‘Spirit of Java’, dikenal luas dengan pesona sejarah dan kenyamanan hidupnya. Namun, di sisi timur kota ini, tersembunyi sebuah realitas yang jauh berbeda dari citra indah tersebut. Di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, berdiri Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, saksi bisu perjuangan hidup dan harapan di tengah tumpukan limbah.

TPA Putri Cempo: Pelabuhan Terakhir Sampah Kota Solo

TPA Putri Cempo merupakan fasilitas pembuangan akhir terbesar di Solo, membentang hampir 17 hektare. Lokasi ini menjadi tujuan akhir bagi seluruh limbah rumah tangga dari penjuru Kota Solo. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Solo menunjukkan, sepanjang tahun 2024, TPA ini menerima setidaknya 144.249 ton sampah, dengan rata-rata harian mencapai 400,7 ton.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Meskipun vital, TPA Putri Cempo telah dinyatakan melampaui kapasitasnya sejak tahun 2014, menimbulkan tantangan serius dalam pengelolaan sampah kota.

Transformasi Sampah Menjadi Energi Listrik

Sebagai upaya mengatasi masalah penumpukan sampah, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Putri Cempo hadir sebagai salah satu proyek strategis Kota Solo. Pembangunannya dimulai pada tahun 2019 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023.

PLTSa ini diklaim mampu mengolah 545 ton sampah setiap hari, menghasilkan 8 megawatt listrik yang kemudian disalurkan ke PLN melalui sistem gasifikasi. Wali Kota Solo terpilih periode 2025-2030, Respati Ardi, menegaskan bahwa PLTSa ini merupakan “solusi dari penumpukan sampah yang sudah bertahun-tahun menjadi masalah di Putri Cempo.”

Ladang Rezeki di Tengah Tumpukan Limbah

Bagi sebagian warga yang tinggal di sekitar Putri Cempo, tumpukan sampah yang berbau menyengat ini justru menjadi sumber penghidupan. Banyak masyarakat menggantungkan nasibnya di sini, mencari rezeki dari apa yang dianggap limbah oleh orang lain.

Advertisement

Salah satunya adalah Bapak Slamet, pria berusia 63 tahun, yang setiap sore menggembalakan sapi-sapinya di lahan sekitar TPA. “Sampun 10 tahun luwih mas angon sapi teng mriki,” ujarnya, menggambarkan betapa lamanya ia mencari nafkah di tempat ini.

Selain pengembala, banyak pengepul barang bekas yang menyisir tumpukan sampah, mencari benda-benda yang masih memiliki nilai jual. Beberapa bahkan mendirikan gubuk semi permanen di atas “gunung” sampah sebagai tempat beristirahat.

Taman Bermain Unik bagi Anak-anak

Fenomena menarik lainnya adalah bagaimana anak-anak di sekitar Putri Cempo menjadikan area TPA sebagai taman bermain mereka. Setiap sore sepulang sekolah, mereka berkumpul di sana. Ada yang bermain layangan di tanah lapang, mencari ikan di bekas saluran irigasi, atau sekadar duduk santai menikmati senja di atas beton yang sudah tidak terpakai.

Mereka tampak tidak terganggu oleh kotoran atau bau sampah, bahkan seolah mengabaikan potensi risiko kesehatan. Salah satu anak bernama Ardi dengan polos mengungkapkan, “Setiap sore mas kalau tidak hujan pasti ke sini, kalau takut sih engga, kenyataannya engga ada yang sakit.” Pernyataan ini menggambarkan adaptasi dan ketahanan hidup anak-anak di lingkungan yang tak biasa.

Advertisement
Mureks