Jaksa penuntut umum mengungkap peran mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dan Chrome Device Management (CDM) di lingkungan Kemendikbudristek. Peran Nadiem terungkap dalam sidang dakwaan anak buahnya yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (19/12/2025).
Lima Peran Nadiem Terungkap
Dalam dakwaan tersebut, Nadiem Makarim disebut menerima aliran dana sebesar Rp 809 miliar dari pengadaan ini. Terdakwa dalam kasus ini adalah Sri Wahyuningsih (Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021), Mulyatsyah (Direktur SMP Kemendikbudristek 2020), dan Ibrahim Arief alias IBAM (tenaga konsultan). Nadiem Makarim sendiri juga berstatus terdakwa, namun dakwaannya akan dibacakan pekan depan karena masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Jaksa menyebutkan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 2,1 triliun. Angka tersebut berasal dari kemahalan harga Chromebook sebesar Rp 1,56 triliun dan pengadaan CDM yang tidak diperlukan senilai Rp 621 miliar.
Berikut adalah lima peran Nadiem Makarim yang diungkap jaksa:
1. Surat Google Dibalas di Era Nadiem, Tak Dijawab di Era Muhadjir
Jaksa mengungkapkan bahwa surat dari PT Google Indonesia terkait pengadaan laptop Chromebook ke Kemendikbud yang tidak mendapat respons di era Mendikbud Muhadjir Effendi, baru dibalas pada masa kepemimpinan Nadiem Makarim. Nadiem disebut memiliki inisiatif untuk menjadikan program pendidikan di Indonesia, seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Merdeka Belajar, berbasis digitalisasi pendidikan melalui kerja sama dengan Google.
Pertemuan antara Nadiem dengan perwakilan Google, Colin Marson dan Putri Ratu Alam, pada November 2019 membahas produk-produk Google for Education. Jaksa menyatakan, Nadiem sepakat untuk menggunakan produk Google for Education, termasuk Chromebook, dengan spesifikasi teknis yang akan diubah menggunakan sistem operasi Chrome.
“Yang pada pokoknya menyatakan bahwa komponen penggunaan dana BOS maupun DAK Fisik melalui petunjuk teknis dengan tanpa mengatur spesifikasi teknis secara detil tidak mengarah kepada merek tertentu seperti Windows dan Linux,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan.
Jaksa juga menyoroti langkah Nadiem mundur dari direksi PT Gojek Indonesia dan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (PT AKAB) untuk menghindari konflik kepentingan. Namun, Nadiem disebut menunjuk orang terdekatnya sebagai direksi dan beneficial owner untuk kepentingannya.
Selain itu, Nadiem mengangkat Fiona Handayani dan Jurist Tan (buron) sebagai Staf Khusus Menteri (SKM) yang memiliki kekuasaan luas dalam memberikan masukan strategis kebijakan pendidikan. Jaksa menyatakan, Nadiem seringkali menyampaikan bahwa masukan dari Jurist Tan dan Fiona Handayani adalah “kata-kata saya”.
2. Membuat Dua Grup WhatsApp Sebelum Menjabat
Jaksa mengungkap bahwa Nadiem Makarim telah membentuk dua grup WhatsApp, yaitu ‘Education Council’ dan ‘Mas Menteri Core Team’, pada Juli dan Agustus 2019, sebelum resmi menjabat sebagai Mendikbud pada Oktober 2019. Grup ini beranggotakan teman-teman Nadiem, termasuk Jurist Tan, Najeela Shihab, dan Fiona Handayani dari Yayasan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK).
Tujuan grup tersebut adalah untuk membicarakan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbud. Jurist Tan juga membentuk grup ‘Tim Paudasmen’ yang beranggotakan Najeela Shihab dan Jumeri (saat itu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah) untuk mempersiapkan Jumeri menjadi pejabat eselon I di Direktorat Jenderal Paudasmen atas permintaan Nadiem.
Grup ‘Tim Paudasmen’ bertujuan memasukkan program Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Merdeka Belajar dari Yayasan PSPK ke dalam program digitalisasi pendidikan sesuai arahan Nadiem. Nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Yayasan PSPK ditandatangani pada 27 November 2019.
3. Mengadakan Zoom Meeting Tak Lazim
Pada 6 Mei 2020, Nadiem Makarim mengundang sejumlah pejabat dan konsultan untuk rapat daring (Zoom meeting) membahas pengadaan TIK menggunakan sistem operasi Chrome. Rapat ini bersifat tertutup dan rahasia, dengan instruksi kepada seluruh peserta untuk menggunakan headset atau berada di ruangan tertutup.
Jaksa menyatakan, peserta rapat tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat, posisi video harus dalam keadaan mati, dan rapat tidak boleh direkam. Nadiem dalam rapat tersebut menyatakan, “Go ahead with Chromebook”.
Jaksa menegaskan bahwa pemilihan Chromebook tidak berdasarkan identifikasi kebutuhan dan pernah gagal pada 2018. Pengadaan CDM juga dinilai tidak diperlukan dan tidak bermanfaat bagi kebutuhan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
4. Mencopot Dua Pejabat Eselon II
Nadiem Makarim juga disebut mencopot dua pejabat eselon II di Kemendikbudristek karena perbedaan pendapat mengenai pengadaan laptop Chromebook. Kedua pejabat tersebut adalah Khamim (Direktur SD) dan Poppy Dewi Puspitawati (Direktur SMP).
Pencopotan yang terjadi pada 2 Juni 2020 ini dilakukan karena perbedaan pendapat terkait hasil kajian teknis yang tidak sesuai arahan Nadiem. Poppy Dewi Puspitawati disebut tidak setuju jika pengadaan merujuk pada satu produk tertentu, yaitu Chromebook.
Sri Wahyuningsih ditunjuk menggantikan Khamim, sementara Mulyatsyah menggantikan Poppy. Keduanya kini menjadi terdakwa dalam kasus ini. Penggantian jabatan ini juga diikuti dengan penunjukan Mulyatsyah sebagai ketua tim review hasil kajian pengadaan laptop dan Sri Wahyuningsih sebagai wakil ketua.
5. Menerima Rp 809 Miliar
Jaksa penuntut umum Roy Riady menyatakan bahwa Nadiem Makarim menerima Rp 809.596.125.000 dari pengadaan tersebut. Perbuatan ini dilakukan bersama-sama dengan terdakwa lainnya, termasuk Sri Wahyuningsih, Mulyatsyah, Ibrahim Arief, dan Jurist Tan.
Jaksa menjelaskan bahwa pengadaan Chromebook dan CDM tahun anggaran 2020-2022 tidak sesuai perencanaan, prinsip pengadaan, tanpa evaluasi harga dan survei. Akibatnya, laptop tersebut tidak dapat digunakan untuk proses belajar mengajar di daerah 3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan).
“Bahwa terdakwa Sri Wahyuningsih bersama- sama dengan Nadiem Anwar Makarim, Ibrahim Arief alias IBAM, Mulyatsyah, dan Jurist Tan membuat reviu kajian dan analisa kebutuhan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada program digitalisasi pendidikan yang mengarah pada laptop Chromebook yang menggunakan sistem operasi Chrome (Chrome OS) dan Chrome Device Management tidak berdasarkan identifikasi kebutuhan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sehingga mengalami kegagalan khususnya daerah 3T,” ujar jaksa.






