Nasional

Stigma Sarjana Menganggur: Bukan Kemalasan, Melainkan Jeratan Sistem dan Minimnya Ruang Negara

Menyandang status sarjana, apalagi dengan predikat cumlaude dan lulus dalam 3,5 tahun seperti yang saya alami, kerap membawa beban moral yang tidak kecil. Fase setelah kelulusan, yang seharusnya menjadi gerbang menuju dunia kerja, justru diwarnai rentetan pertanyaan seperti “setelah lulus mau kerja apa?” atau “habis ini kerja di mana?”. Pertanyaan-pertanyaan ini, yang kini menjadi santapan sehari-hari para sarjanawan, sejatinya berakar dari stigma masa lalu yang kini berevolusi menjadi tekanan sosial.

Dahulu, pendidikan formal dipandang sebagai jaminan mutlak untuk mendapatkan pekerjaan tetap, memunculkan anggapan bahwa “kuliah merupakan jaminan kerja”. Namun, realitas saat ini jauh berbeda, memunculkan pertanyaan krusial: mengapa masih banyak sarjana yang menganggur?

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Bukan Kemalasan, Melainkan Sistem yang Belum Memberi Ruang

Stigma yang kerap melekat pada pengangguran adalah kemalasan atau ketidakkompetenan. Padahal, menganggur bukanlah pilihan atau kemauan seorang sarjanawan. Pengalaman dari para alumni seringkali menyarankan untuk memperbanyak relasi melalui organisasi, mengikuti lomba akademik, hingga terlibat dalam proyek dosen selama masa perkuliahan. Cara-cara ini diharapkan dapat membuka peluang kerja setelah lulus.

Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, penting untuk tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada cara-cara tersebut. Aktivitas-aktivitas ini lebih berfungsi untuk meningkatkan soft skill dan hard skill, sebagai bekal menghadapi tantangan dunia kerja yang sesungguhnya.

Bagi lulusan Ilmu Pemerintahan, bayangan karier seringkali mengerucut pada posisi di pemerintahan atau sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, jalur ini bukanlah perjalanan yang mudah. Proses rekrutmen yang panjang, jeda waktu yang tidak pasti, bahkan kemungkinan tidak dibukanya seleksi CPNS dalam beberapa tahun, memaksa banyak lulusan berada dalam ruang tunggu yang melelahkan.

Situasi ini menempatkan sarjana Ilmu Pemerintahan dalam posisi serba salah: belum bekerja bukan karena enggan, melainkan karena sistem yang belum memberi ruang. Di tengah kondisi tersebut, pertanyaan seperti “kenapa tidak kerja yang lain saja?” atau “kenapa tidak cari kerja sementara saja dulu?” kerap muncul, seolah pilihan hidup dapat ditentukan tanpa mempertimbangkan realitas struktural yang dihadapi.

Padahal, peluang kerja bagi lulusan Ilmu Pemerintahan tidak melulu terbatas pada PNS. Mereka dapat berkarier di DPR/DPRD, menjadi konsultan pemerintahan, aktivis LSM, jurnalis, tenaga pendidik atau dosen, hingga staf ahli pemerintahan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa untuk menempati posisi-posisi tersebut, dibutuhkan lebih dari sekadar ijazah. Diperlukan modal besar, baik secara material maupun modal sosial, yang tidak semua orang miliki.

Akibatnya, banyak sarjana terjebak dalam frustrasi. Mereka merasa terlalu berpendidikan untuk masuk ke sektor informal, namun di sisi lain dianggap belum memiliki “orang dalam” yang cukup untuk menembus pekerjaan formal yang relevan dengan bidang ilmunya.

Peran Negara dan Praktik “Orang Dalam”

Pada titik ini, peran negara seharusnya tidak hanya berhenti pada wacana, melainkan harus benar-benar dirasakan oleh para lulusan Ilmu Pemerintahan. Ironisnya, untuk sekadar mengikuti program magang pemerintah saja, banyak yang harus menghadapi penolakan, padahal posisi tersebut sangat selaras dengan bekal ilmu yang mereka miliki. Sulit untuk tidak merasa kecewa ketika ruang yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berkontribusi justru tertutup rapat.

Minimnya penyerapan lulusan Ilmu Pemerintahan oleh pasar kerja seolah mencerminkan ketidaksiapan negara dalam mengelola sumber daya manusia yang telah dibentuknya sendiri melalui pendidikan tinggi. Lebih menyakitkan lagi, praktik “orang dalam” kian dianggap lumrah dan menjadi ukuran tak tertulis untuk menempati posisi strategis. Situasi ini semestinya menjadi alarm bagi negara untuk bertindak lebih tegas, menghadirkan kebijakan yang adil, dan secara serius menekan praktik tersebut agar kesempatan kerja tidak lagi ditentukan oleh kedekatan, melainkan oleh kemampuan.

Tetap Produktif di Tengah Pergulatan Batin

Meski demikian, menganggur tidak berarti berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Ketika banyak orang mengategorikan pengangguran selalu dikaitkan dengan pekerjaan, saya memilih melihat fase ini secara berbeda. Sambil menunggu proses CPNS dan terus mencari peluang kerja lain, saya berupaya menjaga diri agar tidak stagnan. Menulis dan terlibat dalam komunitas menjadi cara saya untuk tetap produktif, belajar, dan merasa tetap memiliki arah dalam menjalani hari-hari.

Pergulatan batin memang tidak terelakkan dalam perjalanan mencari pekerjaan yang diinginkan. Perasaan gagal, minder, dan membandingkan diri dengan orang lain kerap menjadi momok pengantar tidur. Tak jarang, tekanan sosial, ekonomi, dan keluarga turut menyelimuti pikiran. Bayang-bayang kegagalan akan selalu menjadi bumbu dalam setiap perjalanan manusia. Fase ini menjadi refleksi bagi saya untuk tetap bertahan dan terus bertumbuh.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip sepenggal lirik dari band tanah air Perunggu dalam lagu berjudul “Tapi” sebagai penguat sekaligus teman refleksi bagi pembaca yang mungkin tengah berada pada fase kehidupan yang sama:

“Dunia boleh saja menahanku
Atau perlahan bongkar mimpiku
Dunia boleh saja menahanku
Kupunya doa Ibu”

– Perunggu (2025)

Mureks