Aceh Tamiang – Desa Sukajadi, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, kini menyisakan jejak kelam pascabanjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh. Meskipun air telah surut, lumpur tebal masih menggenangi wilayah tersebut, menjadi saksi bisu dahsyatnya bencana.
Tim jurnalis melakukan penelusuran di Desa Sukajadi pada Kamis (11/12/2025), lokasi yang menjadi pusat dampak banjir. Perjalanan dari Kota Medan, Sumatera Utara, memakan waktu sekitar empat jam melalui jalur darat. Memasuki perbatasan Kota Medan-Aceh Tamiang, pemandangan tenda-tenda pengungsi sederhana yang didirikan warga dengan terpal mulai terlihat di pinggir jalan. Di bawahnya, tumpukan baju bantuan, kardus mi instan, dan selimut tipis menjadi pemandangan umum.
Lalu lintas diwarnai oleh truk-truk besar yang mengangkut logistik, sementara warga berdiri di tepi jalan memegang kardus, meminta bantuan dari kendaraan yang melintas. Kondisi rumah penduduk sangat memprihatinkan; sebagian tampak miring, bahkan ada yang bergeser hingga menutupi badan jalan. Rumah berbahan kayu menjadi korban paling parah, dengan dinding terlepas, pondasi hanyut, dan perabotan berserakan. Rumah beton meski masih berdiri, namun pagar dan gentengnya rusak diterjang arus.
Lumpur kering membentuk lapisan tebal berwarna cokelat di setiap sudut jalan, mengubah warna pepohonan yang tadinya hijau menjadi kusam. Di beberapa titik, genangan lumpur basah masih terlihat. Di tengah reruntuhan, dua truk tangki terseret banjir hingga bertumpukan menjadi pemandangan yang mencolok.
Saat melintasi kawasan Kuala Simpang, suara selang air terdengar di mana-mana. Warga berupaya membersihkan ruko dan kendaraan yang terendam parah. Pasokan air bersih mulai masuk, memberikan secercah harapan.
Menjelang jembatan besi menuju Sukajadi, puluhan tenda pengungsian berdiri berjejer, berdampingan dengan dapur umum Polri dan TNI, serta posko kesehatan. Para pengungsi, mayoritas warga Sukajadi, terlihat sibuk memilih baju bantuan, mengantre makanan, atau sekadar duduk menatap kampung halaman mereka yang kini hancur. Anak-anak berlarian di sekitar tenda, mencoba mencari keceriaan di tengah musibah.
Desa Sukajadi, yang terletak di dataran lebih rendah dengan jalan utama, kini tampak seperti hamparan puing kayu dari atas jembatan. Rumah-rumah papan rata dengan tanah, hanya menyisakan tiang-tiang patah. Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus dari hulu menutupi sebagian besar area desa, bercampur dengan kasur, perabot, dan pakaian warga.
Desi (45), salah satu warga yang selamat, berdiri memandangi sisa rumahnya. Ia mengingat jelas hari ketika banjir bandang menerjang. “Di sini pertama hujan 4 hari berturut turut, kalau tidak salah dari 21 sampai akhirnya 25 November, sebelum hujan itu ada angin kencang, barulah besoknya (26 November) air naik,” ujarnya.
“Kami nengok nengok berita rupanya air dari atas (sungai Tamiang) sudah tinggi, harus waspada kami, tapi kami tidak berpikir setinggi yang kami perkirakan, jadi saya masih bertahan di rumah, karena tidak pernah air setinggi itu sebelumnya,” lanjut Desi, menggambarkan ketidakpercayaan akan skala bencana yang terjadi.
Wilayah tersebut sempat terisolir selama beberapa hari akibat akses yang terputus. Bantuan mulai masuk pada 1 Desember 2025. Desi kini bersyukur pasokan listrik dan air bersih mulai terbatas masuk ke wilayahnya.






