Hubungan antara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), dua raksasa minyak di Teluk, dilaporkan berada di titik terendah setelah serangan udara koalisi pimpinan Saudi menghantam wilayah Yaman yang dikuasai oleh kelompok pro-Abu Dhabi. Insiden pada Selasa (30/12/2025) ini memaksa UEA menarik seluruh sisa pasukannya dari Yaman, sekaligus membuka tabir ketegangan mendalam yang selama ini tersimpan rapat di balik narasi stabilitas kawasan.
Serangan udara yang menargetkan pelabuhan Mukalla di Yaman selatan tersebut memicu krisis diplomatik terbuka. Riyadh menegaskan bahwa keamanan nasional mereka adalah “garis merah” yang tidak bisa ditawar. Sementara itu, UEA mengaku terkejut atas serangan tersebut sebelum akhirnya mengumumkan penarikan pasukan demi keselamatan personel mereka.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Eskalasi ini merupakan puncak dari gesekan panjang mengenai kuota minyak, pengaruh geopolitik, hingga strategi perang di Yaman. Ketegangan ini bermula saat kelompok separatis Dewan Transisi Selatan (STC) yang didukung UEA melakukan gerak maju secara mendadak ke wilayah utara dan timur Yaman pada awal Desember. Langkah STC ini membawa mereka mendekati perbatasan Arab Saudi, wilayah yang secara historis dan budaya dianggap sangat sensitif bagi Riyadh. Kondisi ini menempatkan Saudi dan UEA pada posisi yang berseberangan dalam perang saudara di Yaman yang telah membara sejak 2014.
Gesekan Paling Intens dalam Bertahun-tahun
Neil Quilliam, rekan sejawat di think tank Chatham House, menyatakan kepada Reuters, “Hubungan antara kedua negara memang tidak pernah mudah, tetapi gesekan kali ini tampaknya berada pada tingkat yang paling intens selama bertahun-tahun.”
Pemicu utama eskalasi ini diduga berasal dari mispersepsi diplomatik terkait konflik di Sudan. Sumber yang mengetahui pemikiran Saudi mengungkapkan bahwa kepemimpinan UEA merasa geram setelah mendengar laporan bahwa Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, meminta Presiden AS Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi langsung kepada UEA atas dugaan dukungan mereka terhadap paramiliter RSF di Sudan. Meskipun UEA membantah mendukung pihak manapun dalam perang Sudan, isu ini menjadi api dalam sekam yang membakar hubungan kedua negara.
Dampak pada Pasar Energi Global
Keretakan hubungan ini diprediksi akan meluas hingga ke pasar energi global. Sebagai dua pilar utama OPEC+, perselisihan antara Riyadh dan Abu Dhabi dikhawatirkan akan menghambat konsensus dalam pengambilan keputusan terkait output minyak. Hal ini menjadi krusial mengingat kedua negara tengah mempersiapkan pertemuan virtual dengan anggota OPEC+ lainnya pada hari Minggu mendatang untuk menentukan arah pasar minyak dunia.
Akademisi terkemuka asal Emirat, Abdulkhaleq Abdullah, mengakui adanya perbedaan tajam tersebut namun tetap optimis terhadap masa depan aliansi. “Kami memang memiliki perbedaan pendapat soal Yaman 100%, dan perbedaan tersebut telah naik ke level yang lebih tinggi dengan eskalasi saat ini. Sekutu memang terkadang bentrok, tetapi mereka akan memperbaiki perbedaan tersebut dan membangun kembali apa yang menjadi kesamaan mereka,” ujar Abdullah.
Meskipun penarikan pasukan UEA dianggap dapat meredakan konfrontasi fisik di lapangan, kepercayaan antara kedua kekuatan ekonomi tersebut telah terkikis secara signifikan. Di tengah ketidakpastian ini, para diplomat regional kini berupaya mencegah agar perseteruan ini tidak berkembang menjadi boikot ekonomi berskala besar seperti yang pernah menimpa Qatar pada tahun 2017 silam.






