Internasional

Serangan di Nigeria dan Australia: Benarkah ISIS Bangkit Kembali dengan Taktik Baru?

Advertisement

Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap milisi terkait kelompok Negara Islam (ISIS) di Nigeria barat laut pada Kamis, 25 Desember 2025. Operasi ini menargetkan kamp-kamp yang dikelola kelompok tersebut di dekat perbatasan dengan Niger. Militer AS melaporkan bahwa sejumlah milisi tewas, meskipun jumlah pasti korban jiwa belum jelas.

Presiden AS Donald Trump menyebut serangan pada Hari Natal itu “mematikan” dan melabeli kelompok tersebut “sampah teroris”. Trump juga mengklaim milisi itu “menargetkan dan membunuh secara kejam, terutama orang-orang Kristen yang tidak bersalah”.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyatakan “bersyukur atas dukungan dan kerja sama pemerintah Nigeria”. Pentagon kemudian merilis video singkat yang menunjukkan rudal diluncurkan dari sebuah kapal. Menteri Luar Negeri Nigeria Yusuf Maitama Tuggar mengonfirmasi kepada BBC bahwa serangan itu adalah “operasi gabungan” yang telah direncanakan “untuk beberapa waktu” berdasarkan intelijen Nigeria. Tuggar menegaskan serangan itu “tidak ada hubungannya dengan agama tertentu” maupun “tidak ada hubungannya dengan Natal”.

Insiden Penembakan di Pantai Bondi dan Klaim ISIS

Serangan di Nigeria terjadi kurang dari dua pekan setelah insiden penembakan di Pantai Bondi, Australia, pada 14 Desember 2025, yang menewaskan 15 orang. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengklaim para pelaku tampak dimotivasi oleh “ideologi Negara Islam (ISIS)”. Kepolisian Australia menemukan bendera ISIS serta bom rakitan di kendaraan di lokasi kejadian.

Seorang ayah dan anak diidentifikasi sebagai tersangka penyerang, dengan sang ayah tewas ditembak polisi dan sang anak didakwa 15 tuduhan pembunuhan. ISIS mengomentari serangan itu melalui surat kabar mingguan mereka, al-Naba, menggunakan bahasa yang mengindikasikan bahwa mereka menginspirasi aksi kekerasan melalui pesan daring, namun tidak secara langsung merencanakannya.

Insiden di Sydney menjadi pengingat bahwa ISIS belum menyerah untuk mencoba mengatur atau menginspirasi serangan terhadap negara-negara Barat, meskipun pengaruhnya sangat berkurang sejak 2017 ketika basis “kekhalifahan” mereka di Suriah dan Irak runtuh.

Apakah ISIS Masih Aktif? Analisis Para Ahli

Mina al-Lami, seorang ahli jihadisme di BBC Monitoring, memperingatkan agar masyarakat tidak terburu-buru melabeli serangan-serangan tersebut sebagai operasi ISIS. “Kita tidak bisa berbicara tentang kembalinya sesuatu yang sebenarnya tidak pernah hilang,” ujarnya, menekankan risiko memperkuat propaganda kelompok tersebut alih-alih mencerminkan kemampuan mereka sebenarnya.

Pada puncak kejayaannya, ISIS menguasai wilayah luas di Suriah dan Irak, beroperasi layaknya sebuah negara dengan sistem perpajakan, pendidikan, penegakan hukum agama, dan perawatan kesehatan. Namun, teritori mereka direbut pada 2019 oleh koalisi pimpinan AS yang terdiri dari lebih dari 70 negara.

Al-Lami menambahkan bahwa daya tarik kelompok tersebut makin melemah setelah kehilangan pendirinya, Abu Bakr al-Baghdadi, yang bunuh diri saat serangan AS pada 2019. Sejak itu, tidak satu pun pemimpinnya memiliki identitas atau profil publik yang diakui. Dewan Keamanan PBB memperkirakan saat ini terdapat hingga 3.000 anggota ISIS di Suriah dan Irak, jauh menurun dari puluhan ribu petempur asing yang bergabung setelah deklarasi kekhalifahan pada 2014.

Tanda lain dari melemahnya kekuatan ISIS adalah skala serangannya. “Sekarang mereka mengandalkan serangan kecil dan cepat,” kata al-Lami, berbeda dengan beberapa serangan besar di Suriah, Irak, dan Barat pada pertengahan 2010-an. Serangan di negara-negara Barat sebagian besar “terinspirasi oleh” ISIS alih-alih dikoordinasikan secara terpusat.

Tahun lalu, cabang ISIS di Afghanistan, yang dikenal sebagai ISIS di Provinsi Khorasan (ISKP), dikaitkan dengan serangan mematikan di Iran pada Januari dan Rusia dua bulan kemudian. Mereka juga dicurigai merencanakan beberapa serangan di Eropa yang sebagian besar digagalkan. Namun, tahun ini, ISKP telah melemah secara signifikan dan kesulitan melakukan serangan bahkan di Afghanistan.

Advertisement

Pergeseran Fokus ke Afrika dan Propaganda Daring

Sebagian besar serangan yang dilakukan atas nama ISIS kini terjadi di Afrika sub-Sahara. Menurut laporan Indeks Terorisme Global 2025, ISIS dan afiliasinya “tetap menjadi organisasi teroris paling mematikan pada 2024, bertanggung jawab atas 1.805 kematian di 22 negara.”

Adrian Shtuni, seorang ahli keamanan di Pusat Internasional untuk Kontra-Terorisme (ICCT), memperingatkan bahwa “ISIS telah tumbuh secara eksponensial” di benua itu dalam beberapa tahun terakhir. “Mereka telah bertumbuh dengan mengeksploitasi celah keamanan di wilayah dengan tata pemerintahan yang lemah, seperti Sahel (wilayah Afrika utara) dan Afrika Barat, di tengah penarikan militer Barat secara paksa dan sukarela, ketidakstabilan regional, dan penurunan pendanaan untuk upaya kontra-terorisme,” jelas Shtuni.

PBB memperkirakan ISIS di Provinsi Afrika Barat (ISWAP) mungkin memiliki 8.000 hingga 12.000 anggota. Al-Lami mencatat sembilan dari 10 serangan kelompok tersebut tahun ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, aktif di Sahel, Somalia, Nigeria, Republik Demokratik Kongo (DRC), dan Mozambik. Di negara-negara ini, milisi sering menargetkan komunitas Kristen serta pasukan militer.

Di DRC, kelompok terafiliasi ISIS telah mencoba memberlakukan pajak bagi non-Muslim. “ISIS mengatakan bahwa orang Kristen di DRC memiliki tiga pilihan: masuk Islam, membayar pajak kepada ISIS yang dikenal sebagai Jizya, atau dibunuh. Dalam kebanyakan kasus, mereka (para milisi) tidak memberi mereka pilihan. Mereka hanya menyerang desa-desa mereka dan membunuh mereka,” tambah al-Lami.

Al-Lami mengeluhkan kurangnya perhatian media global terhadap operasi ISIS di Afrika. “Tahun lalu ISIS merasa frustrasi. Mereka mengatakan melalui pesan resmi, ‘Kami telah membunuh semua orang Kristen di Afrika, dan media Barat rasis. Mereka tidak peduli,'” ungkapnya. Meskipun aktif, al-Lami menegaskan kekuatan ISIS di Afrika “tidak mendekati” kekuatan yang pernah mereka miliki di Suriah dan Irak. “Di Afrika, ISIS tidak menguasai wilayah seperti yang pernah mereka lakukan di Timur Tengah. Sebaliknya, mereka mengandalkan tempat persembunyian dan serangan gerilya.”

Selain pergeseran geografis, ISIS juga menghadapi tantangan dalam propaganda. Al-Lami mengatakan ISIS telah kehilangan sebagian besar kekuatan propagandanya. “Mereka memiliki video propaganda yang canggih dan rumit, dan sekarang mereka benar-benar kesulitan untuk membuat video.” Namun, ISIS masih menghasut serangan melalui media daringnya.

Al-Lami menyebut ISIS unik karena memiliki “pasukan pendukung daring, yang masih muda, mahir media sosial, dan benar-benar membantu mengisi kekosongan yang ditinggalkan kelompok tersebut dalam propagandanya.” Mereka aktif di platform seperti Facebook dan Instagram, seringkali menyertakan “instruksi langkah demi langkah” tentang cara menggunakan senjata atau melakukan serangan. Al-Lami menduga beberapa unggahan ini dibuat oleh “anggota jihadis media” berpengalaman, sementara sebagian lainnya “hanyalah anak muda biasa yang terpengaruh oleh propaganda ISIS dan membantu kelompok tersebut menyebarkan pesannya.”

Dalam komentarnya setelah serangan Bondi, ISIS mengklaim bahwa “jihad” kini telah “memasuki fase yang lebih sulit dan rumit”, fase yang semakin banyak dimainkan di ranah daring. “Strategi menerima perintah melalui dunia digital adalah strategi efektif yang tidak membutuhkan banyak sumber daya dan dapat mengatasi banyak rintangan,” kata kelompok itu.

Bagaimana Selanjutnya?

Dr. Renad Mansour, seorang peneliti senior di lembaga kajian Chatham House, percaya bahwa ISIS saat ini jauh lebih lemah. “Banyak penduduk yang hidup di bawah ISIS menderita,” katanya kepada BBC. Ia menambahkan bahwa di tempat-tempat yang warganya menaruh kekecewaan terhadap pemerintah, “tidak ada dorongan atau daya tarik yang sama seperti yang dulu dimiliki ISIS”. “Akar-akar itu tidak ada lagi, jadi sulit untuk melihat kekhalifahan bangkit dengan cara itu dalam waktu dekat,” tambahnya.

Namun, Mansour juga memperingatkan bahwa ISIS berpotensi berkembang di daerah-daerah terdapat beberapa kelompok bersenjata yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Pakar keamanan Adrian Shtuni menekankan bahwa “pendekatan reaktif” setelah serangan-serangan besar tidak akan berhasil. “Tekanan berkelanjutan dari berbagai negara justru sangat penting,” ujarnya. “Ledakan perhatian yang terputus-putus tidak cukup untuk melawan musuh yang adaptif seperti ISIS dan taktiknya yang terus berkembang,” kata Shtuni, menambahkan bahwa “ISIS berkembang karena pengabaian.”

Advertisement
Mureks