Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia secara resmi menetapkan tanggal 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan RI Nomor 206/M/2025 yang telah ditandatangani pada 8 Desember lalu.
Usulan penetapan Hari Sejarah ini datang dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), sebuah organisasi yang menghimpun para sejarawan, akademisi, peneliti, pendidik sejarah, dan berbagai peminat sejarah di seluruh penjuru negeri. MSI, yang didirikan di Yogyakarta pada 29 Agustus 1970, telah lama berperan sebagai garda terdepan dalam pengembangan ilmu sejarah, pendidikan sejarah, serta penguatan kesadaran sejarah di tengah masyarakat.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, menjelaskan bahwa penetapan Hari Sejarah Nasional merupakan hasil upaya bersama untuk mengedepankan pendekatan Indonesia-sentris dalam memahami perjalanan bangsa. “Penetapan Hari Sejarah merujuk pada peristiwa Seminar Sejarah Nasional yang berlangsung pada 14-17 Desember 1957 di Universitas Gadjah Mada. Pada masa itu, Indonesia yang baru merdeka tengah melakukan konsolidasi nasional sekaligus mulai menuliskan sejarahnya sendiri dengan perspektif Indonesia-sentris,” ujar Fadli dalam keterangannya, Senin (15/12/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Fadli saat acara Soft Launching Buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global, yang digelar pada Minggu (14/12). Fadli menambahkan, penetapan ini juga menjadi upaya negara dalam memperkuat kesadaran sejarah kolektif serta meneguhkan jati diri bangsa Indonesia.
Pemilihan tanggal 14 Desember didasarkan pada makna historis yang mendalam bagi perkembangan historiografi Indonesia. Pada tanggal tersebut, Seminar Sejarah Indonesia pertama diselenggarakan pada 14-18 Desember 1957 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seminar ini menjadi penanda lahirnya kesadaran di kalangan sejarawan Indonesia untuk menulis sejarah nasional dari perspektif bangsa sendiri, atau yang dikenal sebagai Indonesia-sentris, sebagai langkah awal melepaskan diri dari cara pandang kolonial-sentris.
Kesadaran tersebut kemudian berkembang melalui berbagai forum akademik nasional, yang puncaknya adalah terbitnya karya monumental Sejarah Nasional Indonesia sebanyak enam jilid pada tahun 1975. Karya ini menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah nasional Indonesia dan mencerminkan komitmen bangsa untuk mengonstruksi narasi sejarahnya secara mandiri dan ilmiah.
Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan, menegaskan bahwa penguatan kesadaran sejarah harus selaras dengan penguatan kelembagaan dan simbolik. “Sejarah adalah fondasi. Kehilangan sejarah berarti kehilangan arah kebangsaan. Penetapan Hari Sejarah merupakan bentuk kehadiran negara dalam menjaga memori kolektif bangsa,” papar Restu.
Menurut Restu, penetapan Hari Sejarah juga merefleksikan komitmen Kementerian Kebudayaan yang bersifat tunggal dan mandiri di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan pengakuan terhadap peristiwa historis yang memiliki nilai strategis bagi bangsa. Di samping nilai simbolik, Hari Sejarah diharapkan menjadi momentum reflektif bagi masyarakat di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi digital. Arus informasi yang cepat dan masif dikhawatirkan dapat memicu penyederhanaan, distorsi, bahkan manipulasi narasi sejarah jika tidak diimbangi dengan pemahaman sejarah yang kritis dan berbasis penelitian.
Penetapan ini juga menegaskan kembali pentingnya pendekatan Indonesia-sentris dalam memahami perjalanan bangsa. Sejarah Indonesia dipandang sebagai hasil dari dinamika internal bangsa yang memiliki peradaban tua, mampu bertransformasi melalui perjumpaan dengan berbagai peradaban dunia, serta secara mandiri menentukan arah kebangsaannya pasca-kemerdekaan.
Lebih lanjut, Hari Sejarah diharapkan dapat menjadi sarana edukatif dan reflektif, terutama bagi generasi muda. Dengan demikian, mereka dapat memandang sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sebagai sumber pembelajaran, nilai, dan inspirasi untuk membangun masa depan bangsa.






