Nasional

Program Makan Bergizi Gratis dan Ojol: Euforia Awal Tak Jamin Keberlanjutan Jangka Panjang

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sering dipandang sebagai terobosan sosial paling ambisius dalam beberapa tahun terakhir. Dengan tujuan mulia memperbaiki gizi anak, menekan stunting, dan memperkuat kualitas sumber daya manusia, MBG segera mendapatkan dukungan luas dari publik. Program ini juga dengan cepat membuka ruang ekonomi baru bagi berbagai pelaku usaha penyedia pangan dan jasa pendukung.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, pola ekonomi MBG menunjukkan kemiripan mencolok dengan bisnis transportasi daring (ojol) pada fase awal kemunculannya di Indonesia. Keduanya sama-sama tampak sangat menguntungkan di awal, tetapi menghadapi ujian berat ketika memasuki fase pembesaran skala dan pengetatan pembiayaan.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Euforia Fase Awal yang Menyesatkan

Transportasi daring pernah dipersepsikan sebagai solusi sempurna bagi masyarakat. Tarif murah, layanan cepat, dan insentif besar bagi pengemudi menciptakan situasi win-win. Di sisi lain, MBG hadir dengan narasi negara hadir secara nyata, langsung menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Pada fase awal, hampir semua pihak merasa diuntungkan, mulai dari penerima manfaat, pelaksana, hingga penyedia jasa.

Kesamaan ini bukan kebetulan semata. Keuntungan awal keduanya ditopang oleh subsidi besar. Transportasi daring mengandalkan modal ventura dan strategi ‘bakar uang’, sementara MBG mengandalkan kekuatan fiskal negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahap ini, biaya riil belum sepenuhnya terasa, pengawasan belum ketat, dan risiko jangka panjang belum menjadi perhatian utama.

Skala Nasional dan Beban Biaya yang Meningkat

Masalah mulai muncul ketika skala program diperbesar. Transportasi daring mengalami tekanan serius saat jumlah pengguna dan mitra pengemudi meningkat. Insentif membengkak, margin menyempit, dan konflik kepentingan tak terhindarkan. Tarif harus dinaikkan, insentif dipangkas, dan pada akhirnya publik mulai mempertanyakan keberlanjutan model bisnis tersebut.

MBG menghadapi tantangan serupa, bahkan lebih kompleks. Ketika cakupan program meluas secara nasional, persoalan logistik pangan, standar gizi, distribusi, pengawasan kualitas, hingga potensi pemborosan anggaran menjadi nyata. Biaya per porsi yang awalnya tampak terkendali berubah menjadi beban fiskal yang signifikan bagi negara.

Dalam konteks ini, MBG bukan sekadar program sosial, melainkan kebijakan fiskal berskala besar. Tanpa perhitungan biaya yang matang dan sistem pengendalian yang kuat, program ini berisiko mengalami inefisiensi struktural yang merugikan.

Ketergantungan Subsidi dan Ilusi Keberhasilan

Persamaan paling krusial antara MBG dan transportasi daring adalah ketergantungan pada subsidi. Transportasi daring bergantung pada keberlanjutan investasi dari modal ventura. Sementara itu, MBG sepenuhnya bergantung pada kesehatan fiskal negara. Selama anggaran tersedia, program berjalan lancar. Namun, ketika tekanan fiskal meningkat—akibat perlambatan ekonomi atau prioritas belanja lain—keberlanjutan program akan diuji.

Pengalaman transportasi daring menunjukkan bahwa ketika subsidi dikurangi, penyesuaian sering kali menimbulkan gejolak di masyarakat. Hal yang sama berpotensi terjadi pada MBG jika desain kebijakan tidak disiapkan untuk jangka panjang dan hanya mengandalkan anggaran besar.

Keuntungan besar di fase awal sering kali menciptakan ilusi keberhasilan. Banyak pihak berbondong-bondong masuk sebagai mitra MBG dengan asumsi keuntungan stabil dan berkelanjutan. Padahal, sebagaimana transportasi daring, fase awal justru belum mencerminkan biaya riil dan risiko sesungguhnya dari sebuah program.

Seiring waktu, hanya pelaku yang memiliki efisiensi tinggi, tata kelola baik, dan kemampuan adaptasi yang mampu bertahan. Tanpa seleksi alam kebijakan yang sehat, MBG berisiko menjadi ladang spekulasi, bukan instrumen pembangunan manusia yang efektif.

Dari Program Populis Menuju Kebijakan Berkelanjutan

MBG memiliki legitimasi moral dan sosial yang kuat. Namun, legitimasi tersebut harus diikuti oleh rasionalitas kebijakan yang terukur. Negara perlu memastikan bahwa program ini tidak berhenti pada simbol populisme, melainkan bertransformasi menjadi kebijakan institusional yang terukur, transparan, dan berbasis data.

Pelajaran dari transportasi daring jelas: pertumbuhan cepat tanpa fondasi ekonomi yang kokoh akan berujung pada koreksi yang menyakitkan. Negara semestinya belajar dari pengalaman tersebut agar tidak mengulang kesalahan serupa dalam skala fiskal yang jauh lebih besar.

MBG dan transportasi daring sama-sama mengajarkan satu hal penting: keuntungan awal bukan indikator keberhasilan jangka panjang. Keberhasilan sejati justru ditentukan oleh kemampuan mengelola fase sulit setelah euforia berlalu.

Masa depan MBG tidak ditentukan oleh besarnya anggaran semata, melainkan oleh ketepatan desain kebijakan, disiplin fiskal, dan konsistensi pengawasan. Tanpa itu, MBG berisiko menjadi program yang mengesankan di awal, tetapi rapuh ketika diuji waktu dan kondisi ekonomi.

Mureks