Keuangan

POPSI Desak Pemerintah Benahi Penerbitan Kebun Sawit di Kawasan Hutan, Soroti Penafsiran Pasal 33 UUD 1945

Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) mendesak pemerintah untuk menertibkan kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Desakan ini bertujuan mencegah ketidakpastian hukum, konflik kepentingan, serta ketimpangan baru di sektor agraria. POPSI juga meminta pemerintah menempatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara proporsional, bukan sebagai legitimasi sepihak untuk pengambilalihan usaha produktif rakyat.

Ketua POPSI, Mansuetus Darto, menyoroti penggunaan Pasal 33 UUD 1945 yang kerap dijadikan rujukan utama dalam penertiban dan penyitaan kebun sawit. Menurutnya, praktik tersebut seolah menutup ruang diskusi hukum dan kebijakan yang lebih substantif. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berulang kali menegaskan bahwa frasa “dikuasai oleh negara” tidak identik dengan negara menjadi pelaku usaha secara langsung.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

“Negara seharusnya bertindak sebagai pengatur, pembuat kebijakan, pengawas, dan penjamin distribusi keadilan. Bukan serta-merta mengambil alih usaha produktif, apalagi ketika status hukumnya belum berkekuatan hukum tetap,” ujar Darto dalam keterangannya, Minggu (28/12/2025).

Darto juga mengkritik praktik pengelolaan kebun sawit hasil sitaan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Agrinas Palma Nusantara. Ia menilai langkah ini berpotensi melampaui mandat konstitusional Pasal 33, terutama jika dilakukan tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Data per 1 Oktober 2025 menunjukkan, Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menyita sekitar 3,4 juta hektar lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta hektar lahan sawit telah diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Sementara itu, para petani sawit saat ini menguasai 6,94 juta hektar dari total 16,38 juta hektar lahan sawit di Indonesia, atau hampir sepertiga dari keseluruhan lahan.

Sorotan Konflik Kepentingan dan Kebijakan Pemutihan

Darto menjelaskan, masih banyak kebun sawit yang status lahannya belum ditetapkan secara definitif. Ia juga menyoroti adanya ruang pemutihan yang dibuka oleh pemerintah, yang secara logis menunjukkan bahwa keberadaan sawit di kawasan hutan tidak selalu serta-merta salah.

“Kalau memang salah, mengapa diputihkan? Ini menunjukkan negara masih mengoreksi kebijakannya sendiri. Maka tidak tepat jika di saat statusnya masih sengketa, negara langsung mengelola dan menikmati hasil kebun tersebut,” tegasnya.

Darto menekankan pentingnya keberlanjutan hak petani sebagai pelaku ekonomi, bahkan ketika kebun sawit sitaan tetap diproduksikan oleh BUMN. “Petani seharusnya tetap menjadi pengelola kebun, dengan kewajiban perizinan dan pemulihan lingkungan. Negara hadir memastikan tata kelola, bukan menggantikan petani sebagai pelaku usaha,” lanjutnya.

Terkait Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 20 Tahun 2025, Darto menilai regulasi tersebut hanya akan efektif jika disertai transparansi, partisipasi publik, serta mekanisme keberatan yang diakui negara.

Mureks