Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) di Komisi XII DPR RI mendesak agar revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) segera dibahas dan disahkan. Anggota Komisi XII DPR RI dari FPKB, Ratna Juwita Sari, menyatakan harapan besar agar revisi ini dapat diselesaikan pada awal masa sidang berikutnya.
“Kami dari FPKB yang ditugaskan di Komisi XII sangat berharap agar Revisi UU Migas dapat diselesaikan pada awal masa sidang depan,” kata Ratna kepada wartawan, Jumat (12/12/2025).
Ratna memaparkan setidaknya ada tiga alasan krusial yang mendasari urgensi revisi UU Migas. Pertama, status kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang belum permanen. Ia menjelaskan bahwa SKK Migas yang lahir pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 belum memenuhi ketentuan hukum tetap sebagai lembaga pengelola sektor hulu migas.
“Lahirnya badan baru, dalam hal ini SKK Migas akibat putusan MK di tahun 2012, dianggap belum memenuhi ketentuan hukum tetap untuk sebuah lembaga yang menjalankan tugas besar sebagai pengelola dari hulu Migas di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, SKK Migas juga dinilai belum optimal dalam memenuhi target lifting minyak dan gas yang ditetapkan setiap tahun. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) yang baru, bukan sekadar perubahan nomenklatur, melainkan juga perombakan arsitektur tata kelola.
“Selain itu, SKK juga dianggap belum mampu memenuhi target lifting yang ditetapkan di setiap tahunnya. Sehingga dibutuhkan Badan Usaha Khusus (BUK) yang baru, yang tidak sekadar perubahan nomenklatur namun juga harus sampai ke perubahan arsitektur tata kelola,” sambung dia.
Alasan kedua, Ratna menyoroti belum adanya sistem perizinan hulu migas yang terintegrasi atau satu pintu. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum, yang berpotensi membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
“Padahal sektor migas ini adalah, sektor padat modal dan long term yang membutuhkan keyakinan penuh. Termasuk bagaimana peraturan untuk reklamasi atau restorasi field pasca eksplorasi dan produksi migas yang tentu saja membutuhkan treatment khusus agar tidak mencemari lingkungan,” paparnya.
Alasan ketiga, revisi UU Migas perlu memasukkan regulasi mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini penting mengingat besarnya beban subsidi yang telah menggerogoti fiskal negara.
“Perlu dipersiapkan skema khusus untuk menjaga keseimbangan antara nilai subsidi dengan kemampuan fiskal negara,” tuturnya.
Sebelumnya, Komisi XII DPR RI menyatakan kesiapannya untuk kembali membahas revisi UU Migas. Mayoritas fraksi disebut telah memberikan dukungan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ini yang sempat tertunda.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, menjelaskan bahwa pada periode 2014-2019, RUU Migas telah selesai dibahas di DPR dan diserahkan kepada pemerintah. Meskipun Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Migas telah terbit pada Januari 2019 ke kementerian terkait, pemerintah pada saat itu tidak menyertakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai lampiran.
Upaya pembahasan kembali juga terjadi pada periode 2019-2024. RUU Migas telah disinkronisasi dan diharmonisasi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI serta diserahkan ke Komisi VII DPR. Namun, RUU ini belum juga menjadi undang-undang karena Komisi VII DPR tidak melanjutkan pembahasan ke tingkat Badan Musyawarah (Bamus) untuk diparipurnakan.
“Kami bersiap memulai kembali pembahasan revisi UU Migas untuk segera dirampungkan,” kata Bambang, Jumat (12/12).






