Penangkapan kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang terus bertambah menjadi “gambaran telanjang” tentang wajah demokrasi lokal Indonesia. Fenomena ini dinilai kian merusak dan membahayakan kelangsungan demokrasi di tingkat daerah.
Kasus terbaru yang mencuat, seperti yang menimpa Bupati Kabupaten Bekasi, seolah mengulang drama lama. Pola yang terjadi meliputi jual beli paket proyek pemerintah, balas jasa kepada penyandang dana kampanye, hingga biaya jabatan yang kerap dibungkus dengan istilah penataan birokrasi.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Sejak sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri hingga saat ini, ratusan kepala daerah telah ditindak. Pola kasus yang terungkap sesungguhnya tidak pernah berubah, hanya nama pelaku, lokasi kejadian, dan angka nominalnya yang berganti.
Akar Masalah: Politik Berbiaya Tinggi dan Kekuasaan yang Haus Balik Modal
Akar masalah dari fenomena ini adalah politik berbiaya tinggi yang melahirkan kekuasaan yang haus akan balik modal. Pilkada langsung, dalam banyak kasus, bukan lagi menjadi ajang kompetisi visi, gagasan, atau integritas. Sebaliknya, ia berubah menjadi arena pertarungan logistik.
Ongkos untuk saksi, baliho, konsultan politik, mobilisasi massa, bahkan “uang untuk membeli suara” secara terang-terangan, membuat seorang kandidat nyaris mustahil bertarung tanpa sokongan pemodal besar.
Ketika seorang kandidat memenangkan kontestasi, relasi kuasa sudah cacat sejak awal. Kepala daerah yang terpilih tidak hanya mewakili rakyat, tetapi juga terikat pada kepentingan para investor politik yang menuntut pengembalian modal.
Pada titik inilah, pemerintahan daerah kerap berubah menjadi pasar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diseret menjadi bank pengembali utang politik. Paket pengadaan barang dan jasa diperdagangkan, proyek infrastruktur diarahkan pada kroni tertentu, bahkan jabatan struktural pun dibuka sebagai “lahan investasi”.
Kickback atau uang pelicin dianggap sebagai keniscayaan, seolah menjadi bagian dari mekanisme bisnis kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika korupsi kepala daerah tidak pernah putus. Jika hulu pembiayaan politik tetap keruh, mustahil hilir pemerintahan dapat menjadi bersih.
Wacana Solusi yang Keliru: Mengembalikan Pilkada ke DPRD
Di tengah keputusasaan yang melanda, muncul wacana baru yang dinilai bukan solusi fundamental: menghapus Pilkada langsung dan mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalihnya, sistem lama dianggap lebih murah.
Namun, pandangan ini disebut sebagai nostalgia terhadap masa lalu yang tidak lebih bersih. Publik masih mengingat bagaimana era pemilihan lewat DPRD juga sarat dengan transaksi politik tertutup.
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam pidatonya di Makassar, sempat mencium adanya wacana untuk mengganti model pemilihan dari Pilkada langsung oleh rakyat ke Pilkada melalui DPRD di setiap daerah. “Bedanya, jika Pilkada langsung korupsinya terjadi di ruang terbuka, pemilihan lewat DPRD memindahkan transaksi ke ruang yang lebih gelap, lebih elitis, dan semakin jauh dari kontrol publik,” ujar Bahlil.
Mengganti mekanisme tanpa menyelesaikan akar masalah pembiayaan politik hanya akan memindahkan penyakit, bukan menyembuhkan.
Langkah Mendesak untuk Pembenahan Ekosistem Demokrasi Lokal
Lantas, apa yang harus dibenahi secara fundamental? Setidaknya ada empat poin krusial yang perlu menjadi perhatian:
-
Regulasi Pembiayaan Kampanye yang Lebih Keras dan Transparan. Negara tidak bisa hanya menyuruh kandidat jujur, sementara biaya yang dibutuhkan tidak pernah rasional. Skema pendanaan negara yang proporsional, audit keuangan kampanye yang transparan, serta pelaporan donasi secara real time akan memotong ketergantungan kandidat pada cukong politik.
Di negara-negara dengan demokrasi mapan, pembiayaan politik diawasi sedemikian ketat, sehingga pelanggaran bukan hanya aib, melainkan juga risiko hukuman berat. Indonesia dinilai belum sampai pada tahap tersebut.
-
Reformasi Pengadaan Barang dan Jasa yang Menyeluruh. Reformasi ini tidak boleh berhenti pada sistem digital semata. Meskipun e-procurement dapat menutup sebagian celah, hal itu tidak serta-merta menghentikan budaya kongkalikong. Masalah sesungguhnya bukan hanya pada prosedur, melainkan juga pada mentalitas dan impunitas.
Integritas pejabat pengadaan harus dilindungi, pengawasan masyarakat sipil perlu diperkuat, dan hukuman bagi intervensi kepala daerah dalam tender harus tegas serta konsisten.
-
Tata Kelola Birokrasi Daerah Berbasis Meritokrasi. Tata kelola birokrasi daerah perlu dikunci dengan sistem meritokrasi yang lebih kuat. Selama jabatan bisa dibeli, loyalitas politik lebih penting ketimbang kompetensi, dan rotasi pejabat dijadikan sumber rente, korupsi hanya akan menjadi soal waktu. Birokrasi yang independen dan profesional adalah benteng pertama melawan keserakahan politik.
-
Pendidikan Politik Publik yang Berkelanjutan. Pendidikan politik publik tidak boleh dianggap sepele. Money politics atau politik uang dapat bertahan karena kerap diterima sebagai “tradisi wajar”. Selama pemilih masih memandang demokrasi sebagai “momen panen” amplop, politisi akan terus merasa sah membelanjakan uang untuk suara dan kelak menagih kembali melalui proyek negara.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pemilih yang sadar, bukan pemilih yang lapar sesaat.
Pada akhirnya, pertanyaan “sampai kapan?” memiliki jawaban yang tidak nyaman: sampai kita berani memangkas biaya politik dan memperbaiki ekosistem demokrasi lokal secara serius. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang bisa menangkap satu per satu pelaku, tetapi tanpa pembenahan sistem, yang jatuh hanya individu, bukan budaya korupsi itu sendiri.
Indonesia tidak membutuhkan kemunduran ke masa lalu dengan pemilihan oleh DPRD. Sebaliknya, dibutuhkan langkah maju dengan demokrasi langsung yang lebih beradab, lebih murah, lebih transparan, dan lebih adil.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan babak berikutnya dari drama yang sama: kepala daerah dilantik dengan janji perubahan, berkuasa dengan jebakan utang politik, lalu berakhir dengan rompi oranye. Demokrasi yang mahal hanya akan melahirkan moral yang murah. Selama kondisi ini dibiarkan, korupsi kepala daerah bukanlah anomali, melainkan konsekuensi yang telah lama ditoleransi.






