Nasional

Perjuangan Sadam Ar Rauf Alif: Dari Ancaman Putus Sekolah hingga Optimisme Kuliah Lewat SRT 45 Semarang

Advertisement

Sadam Ar Rauf Alif, remaja 17 tahun, kini menatap masa depannya dengan penuh keyakinan. Di Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 45 Semarang, ia menemukan ketenangan dan kesempatan untuk meraih mimpi kuliah, sebuah impian yang sebelumnya terhimpit oleh keterbatasan ekonomi keluarga.

Perjalanan Sadam menuju titik ini tidaklah mudah. Di balik pembawaannya yang tenang dan tutur katanya yang santun, ia menyimpan kisah perjuangan panjang menghadapi kondisi ekonomi keluarga yang rapuh.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Liku Pendidikan di Tengah Keterbatasan Ekonomi

Ayah Sadam, seorang buruh pabrik cat, kini menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja akibat kebijakan pengurangan karyawan. Sementara sang ibu berupaya menopang ekonomi keluarga dengan membuka jasa cuci baju di rumah, namun penghasilannya tidak menentu. Dengan tujuh anak yang harus dibiayai, kondisi ini kerap membuat Sadam dihantui kekhawatiran akan masa depannya.

Masa setelah lulus SD pada tahun 2021 menjadi salah satu periode terberat bagi Sadam. Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi ekonomi keluarganya, memaksa Sadam untuk tidak langsung melanjutkan pendidikan.

Ia sempat masuk pondok pesantren melalui jalur seleksi hafalan, namun hanya bertahan enam bulan. “Waktu itu aku keluar gara-gara masih nggak kuat. Kaget dengan kehidupan pesantren,” kenang Sadam.

Setelah keluar dari pesantren, Sadam tidak bersekolah selama enam bulan. “Gara-gara Covid, ekonomi orang tua memburuk. Enam bulan itu aku nggak lanjut sekolah,” ujarnya.

Titik terang mulai muncul saat ia melanjutkan pendidikan di SMP Al-Islam Gunungpati, sebuah sekolah swasta yang menawarkan pendidikan gratis. Dari sana, Sadam berhasil lulus dan diterima di SMKN 1 Semarang, jurusan Elektro, sesuai dengan pilihannya.

Tantangan di SMK dan Harapan Baru di Sekolah Rakyat

Meski bersekolah di SMK negeri, tantangan baru kembali menghadang. Kebutuhan penunjang jurusan elektro, seperti perlengkapan praktik dan laptop, menjadi beban berat bagi keluarganya. Jarak sekolah dari rumah yang mencapai 10-11 kilometer juga menambah kesulitan.

“Awal-awal diantarin orang tua. Terus alhamdulillah ada teman yang nawarin nebeng motor karena searah,” cerita Sadam. Namun, ia menyadari bahwa kebutuhan akan terus bertambah dan kembali membebani orang tuanya.

Di tengah kondisi tersebut, Sadam mendapat tawaran untuk bergabung dengan Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 45 Semarang melalui pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Tawaran ini membawa perubahan besar dalam hidupnya.

Advertisement

Di SRT 45 Semarang, Sadam kini tinggal di asrama, belajar dengan tenang, dan tidak lagi dihantui persoalan biaya sekolah. “Kalau di sini semua sudah ditanggung, jadi tenang, enggak membebani orang tua lagi,” katanya.

Bagi Sadam, fasilitas ini bukan sekadar kemudahan, melainkan kelegaan bagi orang tuanya yang bisa lebih fokus memenuhi kebutuhan adik-adiknya, termasuk dua adik kembar yang masih berusia empat tahun.

Lingkungan Mendukung dan Mimpi Diplomat

Kehidupan di asrama justru memberikan rasa nyaman bagi Sadam. Ia merasa diterima dan dikelilingi lingkungan yang mendukung. “Enak tinggal di sini. Teman-temannya baik, guru-gurunya juga baik dan support,” ujarnya.

Sadam menganggap teman-teman di asrama sudah seperti saudara sendiri, sementara guru-guru ia anggap sebagai orang tua kedua yang membimbing tanpa tekanan. “Awal-awal masih canggung, tapi sekarang sudah nyaman. Rasanya seperti rumah kedua,” tambahnya.

Rasa aman ini memungkinkan Sadam untuk kembali fokus belajar dan merancang masa depan tanpa beban berlebih. Semula bercita-cita menjadi insinyur saat di SMK, kini mimpinya bergeser.

Ia mulai tertarik pada bahasa Inggris dan isu-isu luar negeri, sebuah ketertarikan yang sudah ada sejak SMP dan pernah membawanya mengikuti kompetisi literasi bahasa Inggris tingkat nasional. “Aku suka bahasa Inggris, suka nonton cerita tentang negara-negara lain, politik luar negeri,” ungkapnya.

Kini, Sadam bercita-cita menjadi diplomat. Ia menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk keluar dari lingkaran kesulitan. “Aku pengen kuliah. Harus punya ijazah supaya bisa sukses,” ujarnya mantap.

Di SRT 45 Semarang, Sadam tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Ia dipercaya menjadi Ketua OSIS melalui proses pemilihan yang demokratis, lengkap dengan penyampaian visi-misi dan pencoblosan. “Kayak pemilihan presiden. Nyampein visi, terus dipilih,” ceritanya sambil tersenyum.

Kepercayaan ini menjadi pengalaman berharga bagi Sadam dalam belajar memimpin dan bertanggung jawab. Kini, Sadam tidak lagi harus menumpang motor untuk mengejar sekolah. Di Sekolah Rakyat, ia menemukan ketenangan, kesempatan kedua, dan ruang untuk menata masa depan dengan lebih pasti.

Advertisement
Mureks